KSPPS BTM Diharapkan Jadi Penyalur KUR dan UMi

PEKALONGAN, Indotimes.co.id – Kementerian Koperasi dan UKM berharap kalangan koperasi yang menjadi penyalur kredit usaha rakyat (KUR) dan pembiayaan ultra mikro (UMi) bertambah. Termasuk dari kalangan Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah Baitut Tamwil Muhammadiyah (KSPPS BTM).

Saat ini baru ada tiga koperasi yang telah menjadi penyalur KUR. Yaitu KSP Kopdit Obor Mas Kabupaten Sikka, Maumere (NTT), Kospin Jasa Pekalongan, dan KSO Guna Prima Dana, Badung, Bali.

“Kami mengharapkan dari KSPPS BTM dapat menjadi penyalur KUR,” kata Deputi Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Yuana Sutyowati pada pembukaan Muhammadiyah Microfinance Summit 2019 di Pekalongan, Kamis (19/9)

Yuana mengatakan, saat ini Kementerian Koperasi dan UKM juga menyalurkan pembiayaan ultra mikro (UMi), kepada para usaha mikro. Juga ke anggota koperasi. Pinjaman dari UMi maksimal Rp10 juta per orang. Hingga per 20 Agustus 2019, realisasi pinjaman UMi disalurkan kepada 33 KSP/KSPPS sebanyak 704 miliar.

“Diharapkan Induk KSPPS BTM melalui koperasi primernya dapat berperan sebagai penyalur UMi),” kata Yuana mewakili Menkop AAGN Puspayoga saat menjadi keynote speech pada acara pembukaan Muhammadiyah Microfinance Summit (MMFS) 2019.

Yuana menilai peran Induk KSPPS BTM sangat penting dan strategis, yaitu sebagai pengendali. Yaitu pengendali likuiditas, pengendali kebijakan, pengendali jaringan. Peran lain Induk BTM adalah penyelenggara pendidikan, pendampingan, dan pengawasan terhadap KSPPS BTM anggotanya.

“Oleh karena itu pemerintah memberi penghargaan dan mendukung pengembangan koperasi sekunder di bidang pembiayaan syariah, seperti yang telah dilakukan oleh Induk KSPPS BTM,” ujar Yuana. Tahun lalu, pada Oktober 2018 Yuana pulalah yang meresmikan Gerakan Mikrofinance Muhammadiyah (GMM).

Acara MMFS 2019 dibuka oleh Bupati Pekalongan KH Asip Kholbihi. Kepada oara peserta, Asip mengaku senang menjadi tuan rumah pertama MMFS. “Ini adalah gerakan ekonomi yang menghadirkan keadilan dan mengentaskan kemiskinan,” kata Asip.

Saat menyampaikan orasi ilmiah pada pembukaan MMFS 2019 tersebut, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abas banyak mengritik kebijakan pemerintah yang ternyata lebih menguntungkan orang kaya. Contohnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 tentang UMKM. Di situ disebutkan bahwa perbankan wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada UMKM minimal 20 persen.

Dari data 2016 – 2017, jumlah usaha besar di Indonesia hanya 0,01 persen atau 5.460
unit. Sedangkan jumlah UMKM sebanyak
99,99 persen atau sebanyak 62.922.617 unit. Dari segi kontribusi usaha besar terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) 2019 mencapai 35 persen atau Rp. 1.289 trilliun. Sedangkan kontribusi UMKM sebanyak 65 persen yang besarnya mencapai Rp 2.394,5 trrilliun.

“Ini artinya PBI 14 tersebut, usaha besar yang jumlahnya 0,01 persen mendapat pembiayaan sebesar 80 persen dari total kredit, sedangkan unit usaha yang jumlahnya 99,99 persen hanya mendapat pembiayaan sebesar 20 persen itupun dalam pelaksanaannya hanya tersalur sekitar 15 persen,” ujarnya.

Menurut Anwar, dalam kebijakan trickle down effect, diasumsikan bahwa kita memberi keuntungan kepada kelompok orang kaya, maka keuntungannya akan menetes ke bawah golongan miskin melalui kesempatan kerja dan distriibusi pendapatan melalui upah dan perluasan pasar.

Tapi pada kenyataannya, yang terjadi adalah tidak menetes-netes, bukan trickle down effect tapi trickle up effect arau muncrat ke atas. “Di mana orang-orang kaya mendapatkan kemudahan secara ekonomi ketimbang orang yang ada di kelas bawah atau miskin. Akibatnya yang kaya tambah jaya dan yang midkin naiknya hanya sedikit kalau tidak bisa dikatakan tidak ada,” kata Anwar yang juga Sekjen MUI.