Gabung Koalisi Pemerintah, Hilangkan Simbol Oposisi Gerindra

JAKARTA, Indotimes.co.id – Peluang Partai Gerindra masuk ke dalam kabinet Presiden Joko Widodo di periode kedua ini akan terjawab dalam waktu dekat. Angin segar tentang hal itu sudah disampaikan langsung oleh Jokowi usai bertemu dengan Prabowo Subianto sore ini, Jumat (11/10).

Namun sejumlah pihak justru menyayangkan apabila Gerindra sebagai simbol partai oposisi telah sirna. Sebab, simbol oposisi selama ini dibangun oleh Gerindra dengan sangat baik. Jika Gerindra gabung koalisi maka hal ini akan membahayakan demokrasi.

“Ini akan jadi kabar buruk bagi oposisi, karena hanya akan mungkin menyisakan PKS sebagai oposisi. Padahal demokrasi yang kuat dan sehat itu meniscayakan oposisi yang kuat,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, kepada wartawan, Jumat malam (11/10/2019).

“Selama ini yang menjadi simbol oposisi ya Prabowo dan Gerindra, suka nggak suka. Bukan PKS. Simbolnya Prabowo, bukan PAN, bukan Demokrat bukan PKS. Kalau simbol oposisi ini melebur jadi satu tentu akan jadi lelucon,” imbuhnya.

Kemudian, menurut Adi, tak terbayang jika Gerindra yang selama ini kritis kepada pemerintah setiap harinya, namun ke depan justru akan memuji-muji Jokowi.

“Enggak kebayang kalau Gerindra yang selama ini kritis, bahkan cukup ekstrim beda pendapat politiknya dengan Jokowi, tiba-tiba setiap hari harus muji-muji Jokowi. Ada bentrokan psikologis yang tak bisa dihindari. Sangat lucu, gimana kita bisa menjelaskan pada publik,” papar pengamat politik UIN Jakarta itu.

Jika demikian, lanjut Adi, yang akan menjadi korban adalah rakyat. Selama Pilpres 2019 kemarin rakyat terbelah, namun usai kompetisi justru dua kompetitor ini berpelukan mesra dan bagi-bagi kekuasaan.

“Politik kita ini agak rumit dijelaskan, bagaimana kalkulasi hubungan oposisi pemerintah, ya sah aja, cuma agak sedikit aneh aja politik kita ini. Kemarin berantem ekstrim pendapatnya sampe terbelah, tiba-tiba saling berangkulan, di kabinet. Apa yang bisa kita pertanggungjawabkan pada rakyat kalau begini model poltiik kita,” tegas Adi.

“Itu artinya politik kita selama ini gincu aja bahwa perbedaan dan konfrontasi itu hanya sebatas konsumsi publik saja. Tapi kasian rakyat yang sampai sekarang belum banyak yang move on. Karena kasian rakyatnya. Dibelah, seakan memang terjadi friksi, tapi nyatanya elite landai-landai saja seakan tak terjadi apa-apa,” tutupnya.