Kasus Sumantra, Jaksa Harus Segera Eksekusi Putusan

DENPASAR, Indotimes.co.id – Kasus sidang perdata yang janggal di PN Denpasar, semakin banyak mendapatkan perhatian. Setelah Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi terpidana I Made Sumantra (MS) dalam kasus pidananya, terkait keterangan palsu terhadap surat otentik (Sertifikat). Ahli Hukum mulai memberikan pandangan, agar proses sidang perdata di PN Denpasar berjalan sesuai tatanan hukum tidak penuh kejanggalan.

Ahli hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, Andi Syafrani memberikan pandangan atas kasus ini. Dia memulai mengulas bahwa kasus pidana Sumantra sudah inkrah (inkracht van gewijsde) alias berkekuatan hukum tetap. Dengan ditolaknya kasasi Sumantra di MA.

Tertuang dalam situs Kepanitraan MA RI, Nomor register 719K/PID/2019, pengadilan pengaju Denpasar, dengan nomor surat pengantar W24.U1/3774/HK.01/05/2019, dengan jenis permohonan K, jenis perkara PID dan klasifikasi yaitu keterangan palsu. Dengan tanggal masuk surat 20 Januari 2019, tanggal distribusi 04 Juli 2019 dengan pemohon terdakwa Made Sumantra alias I Made Sumantra, dengan tim yudisial CA.

Sedangkan hakim yang memeriksa kasasi ini adalah, Hakim P1 Maruap Dohmatiga Pasaribu SH.MH, Hakim P2 Dr. Gazalba Saleh SH.MH dan Hakim P3 Sri Murwahyuni, SH.MH. Diputuskan pada 31 Juli 2019 dengan amar putusan Tolak. Dengan hukuman 6 tahun penjara. “Dengan posisi ini, jelas kasasi Sumantra sudah inkrah,” ujar Andi Syafrani.

Dengan kondisi ini, Jaksa mesti kooperatif atas putusan MA ini. Untuk bisa segera mendapatkan Salinan putusan MA, yang sepertinya sulit untuk di dapatkan. “Putusan ini wajib oleh Jaksa untuk segera dieksekusi. Sehingga Salinan putusan itu segera bisa didapatkan oleh para pihak. Dan ada kejelasan hukum dalam kasus ini,” jelas Andi.

Terkait dengan sengketa perdata keabsahan kepemilikan tanah yang sedang berlangsung, menurut Andi, tentu saja pihak-pihak yang berperkara bisa menjadikan putusan pidana yang sudah inkrah itu sebagai salah satu bukti.

Andi mengatakan, hasil putusan MA secara otomatis memperkuat posisi ahli waris FBS dalam sidang kasus ahli waris mendiang FBS (Frans Bambang Siswanto) tersebut.

“Berdasarkan putusan pidana yang ada, posisi pemilik awal, FBS, lebih diuntungkan dengan adanya putusan tersebut dalam sengketa kepemilikan. Sidang perdata ini berkaitan langsung dengan kasus pidana yang sudah inkrah,” kata dia.

Namun karena ini kasus perdata, terbuka ruang mediasi yang lebar dalam menyelesaikan masalah ini. Apalagi sebnarnya sejak awal alhi waris FBS sangat tidak ambisius, bahkan ingin mundur dari gugatan ini. Namun malah Hakim yang memimpin sidang ini, melanjutkan sidang. Dan anehnya sidang ingin dilanjutkan khusus untuk Hotel Mulia Bali dan Made Sumantra. “Namanya kebenaran, akhirnya malah kasasi Sumantra ditolak, ketika keluarga ingin mencabut dengan alasan berduka. Malah dapat kekuatan luar biasa, ketika kasus pidana Sumantra sudah inkrah,” urainya.

“Hakim seharusnya bersikap pasif dalam perkara, bukan mendorong perkara lanjut. Agar perkara ini bisa berjalan fair karena melibatkan pihak korporasi besar, maka sidang harus diawasi publik dan juga pihak KY agar putusannya bisa mencerminkan keadilan sesuai fakta persidangan,” pungkasnya.

Seperti halnya berita sebelumnya, pihak pengacara Hotel Mulia Bali Haris Nasution mengelak, dan mengarahkan agar konfirmasi ke pengacaranya Made Sumantra. Akhirnya koran ini mengkonfirmasi pengacara Made Sumantra yaitu Wayan Tang Adimawan terkait kasasinya ditolak. Menurut Tang, pihaknya malah belum mendengar jika kasasi Made Sumantra ditolak di MA. “Kami belum bisa menjelaskan, malahan kami tahunya belum atas putusan kasasi. Mari tunggu sama – sama,” jelas Tang Adimawan saat diwawancara usai sidang perdata Senin (22/10) di PN Denpasar.

Sebelumnya kasus ini berawal dari FBS sekitar tahun 1991 membeli lahan di daerah Pantai Geger, Kuta Selatan Badung, seluas 11 ribu meter persegi atau sekitar 1,1 hektar. Aset FBS ini diatasnamakan Made Sumantra, namun diatas itu ada perjanjian dan kuasa yang menyatakan aset itu milik FBS. Rencananya lahan itu akan dibagi dua, untuk hari tua Made Sumantra. Sertifikat aslinya masih dipegang oleh FBS.

Ternyata diam – diam, foto copy sertifikat yang dipegang oleh Sumantra dimohonkan sertifikat lagi dengan alasan hilang. Hingga akhirnya terbit sertifikat Salinan dari BPN. Singkat cerita dengan sertifikat Salinan inilah, Sumantra menjual tanah ini ke Hotel Mulia Bali dan akhirnya sudah terbangun hotel.

Belakangan FBS baru ingat jika sempat membeli lahan di sekitaran Pantai Geger. Dan setelah ditelusuri, ternyata sudah jual oleh Sumantra dan menjadi Hotel Mulia Bali. Merasa aneh, karena sertifikat aslinya masih dipegang, akhirnya FBS melaporkan Sumantra ke Polda Bali. Laporannya terkait keterangan palsu terhadap surat otentik (Sertifikat) yang berada di Hotel Mulia Bali. Kasus ini sudah vonis PN Denpasar Nomor 1333/Pid.B/2018/PN Dps tanggal 25 Feb 2019 divonis 4 tahun dan MS banding, kemudian PT berdasarkan Putusan PT Denpasar Nomor 15/Pid/2019/PT Dps tanggal 24 April 2019 ditingkatkan hukumannya menjadi 6 tahun. Dengan kondisi ini pihak Sumantra menempuh kasasi.

Selanjutnya FBS melanjutkan gugatan perdata terhadap Sumantra, dan akhirnya Hotel Mulia Bali juga menjadi Penggugat Intervensi. Dalam proses sidang perdata ini, FBS meninggal dunia. Ahli waris memutuskan untuk mengehentikan gugatan ini, lantaran masih dalam duka mendalam. Namun PN Denpasar melalui hakim yang memimpin sidang ini Dewa Budi Watsara tetap inggin melanjutkan sidang, walaupun mengabulkan pencabutan gugatan dari ahli waris FBS. Artinya hakim melanjutkan sidang dengan Penggugat Intervensi dan tergugat Made Sumantra. Sikap hakim aneh ini memicu perdebatan sengi tantara hakim dan pengacara ahli waris yaitu Willing Learned. Hingga akhirnya ahli waris diberikan menanggapi gugatan intervensi Hotel Mulia Bali dan pihak ahli waris akhirnya memilih untuk melanjutkan sidang alias memutuskan berjuang penuh walaupun sebelumnya memilih mundur.