Akademisi Unibraw Tekankan Perlunya Sanksi Tegas dalam RUU Perkoperasian

MALANG, Indotimes.co.id – Salah satu poin penting dan sangat urgen dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian adalah terkait sanksi hukum sehingga Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) membuka masukan dari para akademisi agar penerapan sanksi hukum tegas kepada koperasi yang melanggar dan merugikan masyarakat.

Akademisi Universitas Brawijaya (Unibraw) Herman Suryokumoro mengatakan, koperasi sebagai salah satu bentuk Badan Hukum usaha yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945. Di mana sebagian besar usaha di koperasi berbentuk Koperasi Simpan Pinjam/Usaha Simpan Pinjam (KSP/USP).

“Banyak terjadi penyimpangan dalam praktik berkoperasi dalam kegiatan usaha KSP/USP yang merugikan masyarakat. Saya berkesimpulan, pengaturan sanksi pidana sudah saatnya ada dan urgen untuk dilakukan, karena memang koperasi sendiri harus sesuai dengan amanat konstitusi,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu (20/12).

Herman melanjutkan, kondisi mayoritas koperasi di Indonesia merupakan sebagian besar bahkan hampir 100 persen melakukan bisnis di sektor USP, meskipun kondisi riil di lapangan, bisnis USP koperasi sedang anjlok.

Baca Juga:  Kemenkop Dorong Peningkatan Akses Pembiayaan KUMKM Terhadap Lembaga Keuangan Formal

“Mengapa? Karena harus bersaing dengan perbankan. Dalam perkembangannya, kejahatan keuangan dilakukan dan digerakkan oleh oknum berbaju koperasi. Saya membaca saat bulan puasa, ramai pemberitaan soal dana-dana penggelapan koperasi yang dilakukan oleh manajer atau pengurus koperasi, sudah pasti yang dirugikan masyarakat kecil,” katanya.

Koperasi Indo Surya misalnya, masalah tersebut sangat masif, kata Herman. Bahkan imbasnya juga terkena kepada koperasi di seluruh Indonesia. Ditambah ada beberapa indikasi koperasi primer Indonesia yang melakukan simpanan pokok terindikasi dari kasus tersebut.

“Maka, sudah saatnya ke depan diatur sanksi lebih tegas, kepastian hukum, dan jaminan bagi para anggota masyarakat. Karena masih ada KSP yang melayani non-anggota, membuat potensi kerugian di masyarakat pun lebih luas,” ucapnya.

Herman menegaskan, pokok-pokok pengaturan sanksi pidana koperasi juga sudah diatur dalam UU Perkoperasian sebelumnya. Yakni UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi, UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian, UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

Baca Juga:  Kemenkop akan Berdayakan Kewirausahaan di Ponpes Al-Masthuriyah

Kemudian, UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, dan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi sampai sekarang.

Dalam RUU Perkoperasian yang baru nanti, Herman mengusulkan, agar tetap mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang dinilainya masih sesuai dengan kondisi saat ini. “Hanya sebagian kecil pasal-pasalnya yang perlu disesuaikan, oleh karena itu kami mengusulkan agar menggunakan undang-undang tersebut, tetapi dengan meng-update perkembangan-perkembangan terakhir, sehingga RUU Perkoperasian ini lebih luwes dan ramping,” ucapnya.

Selain itu, ia juga mengusulkan agar RUU Perkoperasian mengatur hanya hal-hal pokok dan substansif terkait dengan aspek jati diri, organisasi, permodalan, tata kelola, usaha, peran Pemerintah, serta ketentuan pidana dalam kehidupan koperasi Indonesia.

Kemudian, hal-hal yang bersifat teknis diatur dalam petunjuk pelaksanaan atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau peraturan internal koperasi.

Baca Juga:  Pemberdayaan UKM Jadi Kunci Pemerataan Ekonomi

Ketentuan yang mengatur organisasi dan usaha koperasi, sebagaimana dimaksud huruf (a) dijaga agar tidak bertentangan dengan ketentuan regulasi yang sudah ada (seperti yang sudah diatur dalam UU 11/2020 yang diubah dengan PERPU 2/2022).

Selanjutnya, diusulkan juga tidak mengulang atau mengangkat kembali ketentuan yang telah dibatalkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XI/2013.

Tak hanya itu, Herman juga menyoroti tentang pembagian jenis koperasi menjadi close loop maupun open loop berdasarkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), di mana pengawasan dibagi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Saya setuju koperasi open loop diperiksa oleh OJK. Terus terang saja, kalau koperasi nya benar kenapa harus takut dengan OJK, justru mereka yang menolak yang patut saya pertanyakan,” katanya.

Meski begitu, Herman menekankan, jika koperasi ingin lebih mandiri, pengawasan koperasi sebaiknya hanya dilakukan dalam jenis close loop saja. Sehingga pengawasan sepenuhnya dalam Kementerian Koperasi dan UKM.