Indotimes.co.id – Pertamina melalui Kementerian BUMN pada bulan Oktober 2016 menambah satu direktorat baru yaitu Direktorat Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia.
Berdasarkan rencana investasi dalam 4-5 tahun yang akan datang, Direktorat Mega Proyek Pengolahan dan Petrokima akan menjalankan proyek senilai 30-40 milyar USD. Nilai tersebut sama dengan Rp 536 triliun dengan kurs Rp 13.400 per USD.
Jika di hitung dengan anggaran belanja dalam APBN 2017, nilai tersebut setara dengan 25 persen total pembelanjaan.
Di tengah Pertamina sedang melakukan pembenahan secara internal terkait dengan perlawanan terhadap mafia migas yang selama ini bergentayangan di sana, dengan adanya Direktorat MP3 ini bisa menimbulkan mafia migas yang baru mengingat dari total nilai proyek yang akan dikerjakan sangat besar.
Mengingat besarnya nilai proyek yang akan dijalankan, alangkah lebih bijaknya jika Kementrian BUMN meninjau kembali keberadaaan Direktorat Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia berada di dalam tubuh Pertamina.
Apalagi Direktorat ini ini menangani New Grass Root Refinery (NGRR), di mana ini merupakan tugas negara dan dalam hal pembangunan kilang minyak haruslah ada keberpihakan pemerintah tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada BUMN terutama terkait perencanaanya dan skema pembiayaanya.
Pertamina sebagai BUMN Energy kita harus tetap fokus kepada fungsinya yaitu di sektor hulu tetap dan sektor hilir. Tantangan di sektor Hulu yang begitu besar dimana saat ini produksi kita yang terus menurun, sementara potensi cadangan migas kita cendrung ke arah Timur Indonesia dan laut dalam dengan resiko yang lebih besar.
Belum lagi harga minyak mentah dunia yang tetap stagnan, sedangkan biaya untuk kegiatan produksi terus meningkat.
Sektor hilir pun harus bekerja keras terkait dengan keinginan pemerintah dalama mewujudkan BBM satu harga keseluruh wilayah Indonesia serta penyaluran LPG 3 kg keseluruh wilayah Indonesia.
Pertamina dengan tugas yang diberikan pemerintah terhadap dua sektor tersebut jangan dibebani oleh pekerjaan Mega Proyek tersebut karena peluang Pertamina untuk menjadi bancakan banyak pihak semakin terbuka mengingat besarnya nilai proyek yang akan dikerjakan.
Belum apa-apa saja, mega proyek tersebut saat ini sudah mulai banyak “dikawal”oleh pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan saat ini. Oknum pemerintah, elit partai sudah sering berkomunikasi dengan “orang orang ” pertamina yang kelola mega proyek.
Mega projek pembangunan kilang pada dasarnya merupakan ladang subur bagi mafia migas. Bahan untuk kilang berupa crude adalah bergantung kepada import. Contoh: RDMP Cilacap, akan butuh 400 ribu barrel per hari eks import. Kalau selisih harga per barrel 1 USD berapa yang akan masuk kantong mafia migas dan para pengusaha hitam. Demikian juga dengan GRR Tuban yang Kapasitasnya 350 ribu barrel/hari.
Mengingat hal tersebut diatas, kiranya pemerintah harus bijak dalam mengambil keputusan dengan menghapuskan Direktorat Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia dalam struktur organisasi di Pertamina dengan memindahkan pekerjaan tersebut ke Kementrian atau lembaga lain sehingga Pertamina tetap fokus pada tugas mereka di sektor Hulu dan Hilir.
Jangan sampai dengan adanya Direktorat Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia menyebabkan kemunduran dalam tubuh Pertamina.
Kami berharap saat nanti dilantikan Direktur Utama Pertamina yang baru, berbarengan dengan dihapuskan atau dipindahkannya Direktorat Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia ke tempat yang lain sehingga mafia migas tetap tiarap seperti saat ini.
Oleh: Mamit Setiawan (Direktur Executive Energy Watch)