JAKARTA, Indotimes.co.id- Gelombang penolakan terhadap rencana Kementerian BUMN membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sekaligus memisahkan PLTP dari PT PLN (Persero) terus bergulir.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Federasi Serikat Pekerja Global atau PSI, Rosa Pavanelli menilai, langkah tersebut bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat dan pekerja PLN.
“Kami (PSI) dan afiliasi kami di bidang energi di Indonesia yaitu Serikat Pekerja PT PLN Persero (SP PLN Persero), Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), menolak keras upaya privatisasi, melalui penggabungan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaannya menjadi holding perusahaan,” kata Rosa Pavanelli dalam siaran pers bersama secara virtual pada HUT ke-22 SP-PLN, Rabu (15/9).
Rosa menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah memutuskan segala upaya untuk memprivatisasi listrik, dalam bentuk apapun, adalah inkonstitusional.
“Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketenagalistrikan merupakan sektor produksi yang penting bagi negara dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak,” ujar Rosa.
Sebagaimana diamanatkan pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menurut Rosa, listrik harus berada di bawah kekuasaan negara (putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003, tentang Uji Coba UU No. 20 Tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan halaman 334, dan Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 tentang Uji Coba Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, halaman 103).
“Listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon,” papar Rosa.
Dia mengatakan, privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan akses universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon.
“Ini seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Umum SP PLN, M Abrar Ali dan Sekjen SP PJB Dewanto Wicaksono kembali menekankan soal pernyataan sikap yang disampaikan akhir Juli 2021.
“SP-PLN Grup dengan tegas menolak holdingisasi PLTP jika tidak diserahkan kepada PLN sebagai holding perusahaanya,” katanya.
Pihaknya juga menolak jika holdingisasi PLN dilanjutkan dengan privatisasi atau penjualan saham PLN atau anak perusahaanya melalui mekanisme IPO di pasar modal.
“Jika privasitasi PLN itu dilakukan dan swasta masuk yang notabene berorientasi untung, dampaknya akan memacu kenaikan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik inilah hampir dipastikan terjadi jika PLN sudah dikuasai swasta yang nota bene profit oriented,” papar Abrar.
Sekjen SP PLN Dewanto sepakat sesuai putusan judicial review di MK, sektor pelayanan energi dan pelayanan publik seperti PLN tidak boleh diprivatisasi.
“Sektor pelayannan publik dan energi harus tetap dibawah kendali negara melalui BUMN yang langsung dikontrol DPR dan mengacu pada aturan konstitusi,” ungkap Dewanto.
Dewanto menambahkan, Penolakan SP PLN terkait holdingisasi dan privatisasi PLN bukan semata-mata kepentingan SP atau PLN sebagai BUMN.
“Tapi, Indonesia sebagai negara hukum maka harus menjadi konstitusi negara sebagai aturan tertinggi dan harus ditaati semua pihak termasuk Kementerian BUMN dan PLN sekalipun,” ungkap Dewanto.
Seperti diketahui, Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU), yang khusus untuk panas bumi akan dipisahkan dari PLN milik Pemerintah. Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan dijual melalui penawaran umum perdana (IPO).