BOGOR, Indotimes.co.id – Kementerian Koperasi dan UKM menggelar acara Focus Group Discussion (FGD) tentang Pemberdayaan Petani Kentang Melalui Penguatan Koperasi, di Kota Bogor, Selasa (20/2).
“Tujuan dari FGD ini adalah memberikan solusi bagi petani untuk mengembangkan komoditas kentang yang ada saat ini menjadi komoditas yang berdaya saing melalui koperasi sebagai motor penggeraknya,” kata Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kemenkop dan UKM Abdul Kadir Damanik.
Untuk itu, lanjut Damanik, pihaknya mengundang ahli tentang kentang yaitu Prof YoungSeok (Haktae) Lim Phd dari Kangwon National University dan Dr Ir Awang Maharijaya dari IPB.
“Saat ini, produktifitas kentang di Indonesia tergolong rendah dibanding negara maju. Produktifitas kentang di Indonesia saat ini berkisar 13 ton per hektar, sedangkan di negara maju lebih dari 30 ton per hektar. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi pertanian yang dapat diadopsi oleh petani, varietas kentang berkualitas tinggi diharapkan bisa didapatkan sehingga produktifitas kentang juga meningkat,” papar Damanik.
Menurut Damanik, pengembangan tanaman kentang mempunyai prospek baik dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan juga negara.
“Hanya saja, petani kentang biasanya berperan sebagai penerima harga. Sehingga, tak jarang posisi mereka menjadi lemah dalam menentukan harga. Sementara itu, peranan lebih besar dalam pengendalian harga kentang biasanya ditentukan oleh pedagang, mulai dari pengepul, pedagang besar, sampai pedagang pengecer,” ujar Damanik lagi.
Adanya fluktuasi harga dapat mempengaruhi pendapatan petani maupun pelaku usaha kentang lainnya. Oleh karena itu, Damanik menekankan perlunya peran dan penguatan koperasi yang mampu memberikan jasa layanan kepada petani kentang dalam mengembangkan agribisnis kentang dan memasarkan hasilnya.
“Bahkan, juga diharapkan koperasi ini mampu mengolah menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah, sehingga memberikan nilai dan harga yang menguntungkan bagi petani kentang,” kata Damanik.
Damanik menjelaskan, di Korea Selatan sudah terjadi kolaborasi antara pengusaha dengan ahli kentang dari universitas. Mereka terus membangun varietas kentang dengan tujuan kepentingan bisnis.
“Hasil sukses mereka disana akan diterapkan di Indonesia. Mereka akan membangun lembaga riset untuk mengembangkan kentang di Indonesia. Sebagai langkah awal, mereka akan mendatangi dan melihat petani kentang di wilayah Pangalengan (Bandung) dan Dieng (Jawa Tengah),” kata Damanik.
Dia juga menyebutkan bahwa kebutuhan kentang Indonesia untuk industri masih impor, sementara untuk konsumsi sangat berlebih. “Kondisi ini yang akan kita perbaiki ke depannya,” ujar Damanik.
Dalam kesempatan yang sama, Prof Young Seok mengatakan, lingkungan industri kentang di Indonesia sangat besar, dimana Indonesia masih mengimpor kentang sebanyak 109.359 ton dengan nilai 17.076.000 dolar AS.
“Tantangan industri kentang di Indonesia adalah pasar kentang didominasi oleh perdagangan umum dengan sistem kontrak yang terbatas. Saya menyarankan agar pengembangan varietas kentang yang baru diprogramkan, dimana bibit tersebut memiliki anti oksidan yang tinggi dan nilai industri yang tinggi juga,” kata Prof YoungSeok.
Sedangkan ahli kentang dari IPB Dr Ir Awang Maharijaya menjelaskan, kentang dapat dijadikan sebagai komoditi diversifikasi pangan untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat.
“Gizi kentang lebih tinggi dibandingkan dengam serelia dan umbi lainnya. Kentang dapat dijadikan berbagai macam produk olahan, sehingga kebutuhan kentang diperkirakan akan terus meningkat. Hanya saja, produktifitas kentang nasional masih rendah. Di sisi lain, terus terjadi degradasi lahan karena penanaman kentang terus dilakukan secara terus menerus”, kata Awang.