JAKARTA, Indotimes.co.id – Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM Suparno mengakui keberadaan Deputi Pengawasan yang baru tiga tahun membuatnya harus banyak belajar dari lembaga sejenis yang melakukan pengawasan.
“Dalam hal ini kami melihat OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sudah terbukti berhasil melakukan pengawasan sektor jasa keuangan sehingga stabilitas terjaga. Demikian juga dengan Bank Dunia atau World Bank dalam skala global. Karena itu, kami tak segan menimba pengalaman dari mereka dan memilah-milah pengawasan apa dan bagaimana yang bisa diimplementasikan untuk mengawasi koperasi yang jumlahnya sangat banyak, tercatat ada 138.140 koperasi aktif,” kata Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop dan UKM Suparno, usai membuka seminar nasional bertema “Strategi Membangun Sistem Pengawasan Koperasi yang Berkesinambungan” di Jakarta, Kamis (16/5).
Seminar tersebut menampilkan narasumber Roberto Akyuwen (analisis eksekutif senior Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK), Ahmad Subagyo (konsultan Bank Dunia) dan Video Call dengan Senior Financial Sector Specialist World Bank Juan Buchenau yang berkedudukan di Meksiko.
Suparno menegaskan, Deputi Bidang Pengawasan selaku Unit Pelaksana pengawasan Koperasi-Koperasi di Indonesia, terus berupaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan agar lebih efektif dan efisien sehingga mampu menjangkau jumlah koperasi yang relatif bertambah di Indonesia.
Saat ini, tercatat jumlah koperasi di Indonesia mencapai 138.140 unit, dengan jumlah koperasi non KSP sebanyak 117.288 unit (84,91persen) dan jumlah KSP 20.852 unit (15.09 persen), dimana di dalam Koperasi Non KSP itu sendiri terdapat unit-unit simpan pinjam sekitar 51.081 unit (36,98 persen), sehingga jumlah total usaha simpan pinjam koperasi sebesar 71.933 unit (52,07 persen).
“Permasalahan-permasalahan selama melakukan pengawasan, dan laporan pengaduan masyarakat terhadap koperasi bermasalah, terutama di sektor simpan pinjam, melatarbelakangi Deputi Bidang Pengawasan untuk semakin menyempurnakan diri dengan menimba success story dari lembaga seperi OJK dan Bank Dunia,” kata Suparno.
Ia mengakui, indikasi semakin marak terjadinya praktek-praktek ilegal yang dilakukan koperasi, dan telah menjadi isu nasional yang tersebar luas melalui media massa terutama dengan modus penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, pengelolaan investasi yang menawarkan bunga tinggi, dan lain-lain yang berakibat pada tindakan melawan hukum.
Sementara itu, Ahmad Subagyo (konsultan Bank Dunia) mengatakan, kasus koperasi bermasalah di Indonesia banyak disebabkan kelemahan skema dan proses pengawasan saat ini.
Dalam pengamatannya, setidaknya ada empat hal yang membuat pengawasan koperasi menjadi tidak efektif alias sia-sia.
Pertama, tidak ada skala prioritas yang berdasar pada tingkat urgensi pengawasan berbasis pada risiko. Kedua, tidak ada klasifikasi kelompok usaha koperasi, sehingga semua koperasi diperlakukan sama baik skala mikro sampai ke skala besar.
Ketiga, tidak ada deteksi awal yang menginformasikan tentang kelemahan obyek (koperasi), sehingga semua ASDEP melakukan pemeriksaan pada koperasi yang sama.
“Keempat, tahapan pengawasan belum ada gradasi sehingga seluruh sumber daya terpusat hanya pada beberapa koperasi saja,” katanya.
Sedangkan Senior Financial Sector Specialist World Bank Juan Buchenau menilai, belum adanya data lengkap dan akurat terkait koperasi membuat pengawasan menjadi lemah. Untuk kasus pengawasan koperasi di Indonesia, Ia menyarankan pengawasan koperasi bisa bekerjasama dengan otoritas jasa keuangan seperti yang terjadi di Thailand.