SURABAYA, Indotimes.co.id – Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM) tertarik dengan pola tanggung renteng yang dikembangkan oleh Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita (SBW) Jawa Timur. Pola tanggung renteng yang diterapkan dalam mekanisme kerja koperasi simpan pinjam terbukti mampu mengurangi risiko kredit macet dan gagal bayar (NPL/Non Performing Loan) para anggota koperasi hingga 0 persen.
Karena itu, Direktur Utama LPDB-KUMKM, Braman Setyo mendorong supaya pola tanggung renteng bisa dijadikan sebagai role model bagi pengembangan koperasi di Indonesia. Braman yakin Menteri Koperasi dan UKM Puspayoga akan setuju bila pola tanggung renteng diangkat ke tingkat nasional. Sehingga koperasi-koperasi yang ada di luar Jawa Timur juga bisa mengadopsi pola tersebut.
“Kami inginkan pola tanggung renteng jadi salah satu kebijakan. Seluruh koperasi wanita wajib menggunakan pola ini, karena Koperasi Setia Bhakti Wanita ini polanya sama tanggung renteng sehingga banyak studi banding Kopwan di luar Jatim belajar tanggung renteng, sebenarnya ini akan menjadi icon Jatim apabila sampai ke tingkat nasional dan kira-kira tahun 2008 saya pernah usulkan ke Kementerian Koperasi dan UKM agar menjadi kebijakan secara Nasional bagi koperasi wanita di Indonesia pada waktu itu saya masih menjadi kepala Dinas Koperasi dan UKM Jatim” kata Braman saat mengunjungi Kopwan SBW di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (23/5).
Tanggung renteng merupakan pola pengelolaan anggota koperasi dalam usaha simpan pinjam. Pola ini diperkenalkan oleh Mursia Zaafril Ilyas, pendiri Kopwan SBW yang terinspirasi dari kelompok ibu-ibu arisan. Pola ini pada awal diterapkan bertujuan untuk pengamanan aset. Hal ini penting karena sebuah koperasi tidak akan bisa bertahan apalagi berkembang bisa asetnya tidak aman. Ini terbukti tahun 2012 Koperasi SBW pernah mendapatkan dana bergulir sebesar 10 Milyar dan lancar dan lunas tahun 2017.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Umum dan Hukum LPDB-KUMKM Jaenal Aripin mengatakan, ke depan pola tanggung renteng harus dibuat lebih adaptif mengikuti perkembangan era digital, era dimana sekarang teknologi berkembang sangat pesat, mulai dari alat komunikasi, internet atau semua hal yang membantu pekerjaan manusia.
“Kita akan analisa apakah sistem tanggung renteng ini efektif untuk simpan pinjam, sekarang hanya koperasi wanita. Kalau dianalisa dan efektif akan bisa dijalankan koperasi berbasis simpan pinjam,” papar Jaenal.
Untuk menghadapi derasnya arus digitalisasi tersebut, Menurut Jaenal, Kopwan SBW ini harus mengembangkan platform digital. Dengan memiliki platform akan memudahkan Kopwan SBW melakukan konsolidasi, memberikan informasi kepada anggota, menjadi tempat alternatif yang menarik untuk mempromosikan produknya dan mengefektifkan anggota dalam kegiatan simpan pinjam.
“Platform bisa dikloning nanti bisa cek masing-masing anggota. Kemenkop UKM sudah punya aplikasi Lamikro, sebuah aplikasi pembukuan akuntansi sederhana untuk usaha mikro yang bisa digunakan melalui smartphone. Ini sebagai tata kelola laporan keuangan,” ujarnya.
Ketua Kopwan SBW Indra Wahyuningsih menjelaskan, pola tanggung renteng mensyaratkan anggota untuk tergabung dalam kelompok-kelompok. Anggota dalam kelompok tersebut wajib mengadakan pertemuan kelompok setiap bulannya. Apabila ada anggota yang tidak membayar kewajibannya (membayar angsuran) maka seluruh anggota dalam kelompok tersebut ikut bertanggung jawab.
“Artinya besar angsuran yang tak terbayar tersebut ditanggung bersama oleh seluruh anggota dalam kelompok. Dengan demikian seluruh angsuran yang disetor ke Kopwan Setia Bhakti Wanita sesuai dengan jumlah tagihan. Proses inilah yang kemudian terbukti mampu mengamankan aset koperasi dengan tunggakan 0 persen,” ujar Wahyuningsih.
Kopwan SBW menjadi salah satu bukti keberhasilan penerapan pola tanggung renteng tersebut. Dalam perjalanannya memang telah banyak capaian maupun prestasi yang telah diraih Kopwan SBW. Ke dalam, Kopwan SBW telah mampu meningkatkan omset, aset dan jumlah anggotanya. Sementara keluar berbagai pengakuan juga telah didapat.
Koperasi itu, memberikan plafon kredit kepada nasabah sebesar Rp200.000 hingga Rp3 juta dengan tingkat bunga pinjaman 3 persen per bulan. Jangka waktu kredit diberikan selama 3 bulan dengan jaminan tanggung renteng. Sedangkan cara angsuran dilakukan secara harian oleh penanggung jawab kelompok yang anggotanya terdiri dari sekitar 280 orang.
Dia mengatakan, sistem tanggung renteng dapat mengendalikan risiko bisnis dalam kegiatan simpan pinjam. Walaupun pinjaman diajukan tanpa jaminan atau agunan, hingga kini Kopwan SBW tetap bisa mempertahankan kemacetan piutang 0 persen. Sistem tanggung renteng dalam penerapannya membutuhkan kedisiplinan para anggotanya selain juga rasa tanggung jawab, percaya diri, dan harga diri.
“Koperasi ini harus besar jangan sampai anggota membenani koperasi, tapi harus ikut membesarkan koperasi. Jadi tanggungjawab besar, gotong royong, kebersamaan,” ungkap Wahyuningsih.
Karena semua kewajiban dalam hal ini angsuran pinjaman sudah diselesaikan secara kelompok maka tidak ada kredit macet ditingkat koperasi. Tak mengherankan bila sistem ini kemudian disebut juga sebagai sistem pengaman aset. Tentu saja sistem pengaman aset ini akan semakin menguat bila nilai-nilai tanggung renteng juga tumbuh mengiringi proses penerapannya.
Ia menjelaskan, dengan aset yang mana maka koperasi akan mempunyai kemampuan lebih dalam meningkatkan pelayanannya kepada anggota baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini pula yang kemudian akan meningkatkan loyalitas dan rasa memiliki anggota pada koperasinya. Sehingga anggota akan termotivasi untuk ikut menjaga dan mengembangkan koperasinya.
“Dengan demikian koperasi dari, oleh dan untuk anggota bukan sekedar selogan. Tapi menjadi sebuah kenyataan, dimana koperasi tumbuh dan berkembang dangan jati dirinya,” kata dia.