JAKARTA, Indotimes.co.id – Komentar keras terkait kelangkaan minyak goreng dan kebijakan pemerintah kini dipublikasikan oleh Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri.
Melalui tulisannya yang diupload pada blognya faisalbasri.com, mantan komisioner KPPU tersebut menilai lonjakan harga minyak goreng dan kelangkaan stok barang yang tergolong kebutuhan pokok tersebut adalah buah dari kebijakan pemerintah.
Sebagai informasi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terkait stok minyak goreng murah, karena melalui kebijakan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000, minyak goreng murah tersedia banyak.
Namun hingga berita ini diturunkan, masih banyak kasir Alfamart, dan Indomaret yang mengatakan tidak punya stok minyak goreng, menyebabkan masyarakat kebingungan ketika ingin menggoreng makanan.
Faisal Basri, dalam tulisannya yang diposting di blognya pada Kamis, 3 Februari 2022, menjelaskan sengkarut di industri minyak goreng, yang merupakan produk turunan kelapa sawit.
Di awal tulisannya, Faisal Basri mengutip data Badan Pusat Statistik yang menyebutkan harga minyak goreng pada Desember 2021 yang sudah naik 34 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Secara detail, pada Desember 2021, harga melonjak jadi Rp21.125 per liter dari Rp 15.792 per liter di Desember 2020.
“Banyak berita menuduh lonjakan harga minyak goreng akibat ulah pengusaha. Bahkan ada yang menengarai terjadi praktik kartel oleh produsen minyak goreng,” demikian tulis Faisal Basri.
Untuk menekan terus melonjaknya harga minyak goreng, pada awal tahun 2022, pemerintah menetapkan kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter, yang berlaku hingga 31 Januari 2022.
Pemerintah juga mematok harga eceran tertinggi (HET) untuk tiga jenis minyak goreng berkisar antara Rp 11.500-14.000 per liter.
Kebijakan tersebut, merupakan runutan dari keputusan pemerintah mewajibkan para produsen untuk memasok 20 persen minyak sawit mentahnya (Domestic Market Obligation atau DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk pasokan Crude Palm Oil (CPO) dan RBD Palm Olein di dalam negeri.
Adapun Domestik Price Obligation untuk CPO telah ditetapkan sebesar Rp 9.300 per kilogram (kg), sementara untuk minyak olein sebesar Rp 10.300 per liter.
Bahkan pemerintah sempat “menggertak” untuk melarang ekspor CPO dan turunannya, demikian tulis Faisal Basri.
“Namun, penetapan HET tidak diiringi oleh tambahan pasokan yang memadai sehingga harga jual masih saja mendekati Rp20.000 per liter,” kata Faisal Basri.
“Boleh jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok yang mereka miliki diperoleh dengan harga lama. Boleh jadi pula karena memang pasokan tersendat sehingga terjadi kelangkaan di pasar.”
Pemerintah, kata Faisal Basri, menerapkan kebijakan satu harga sebesar Rp14.000 per liter untuk operasi pasar agar harga stabil. Hal ini dikritik Faisal Basri tidak menyelesaikan masalah.
“Harga itu tentu saja adalah harga subsidi, karena produsen minyak goreng tidak mau merugi atau terpangkas labanya. Dana subsidi berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS),” kata Faisal Basri.
Menurut Faisal Basri, duduk perkara melambungnya harga minyak goreng adalah karena ekspor bukan biang keladi kenaikan harga.
“Kebijakan yang baik dan efektif ditentukan oleh kepiawaian pemerintah mendiagnosis penyebab kenaikan harga. Pasar tidak bisa dikomando secara serampangan,” kata Faisal Basri.
“Ternyata ekspor bukan biang keladi kenaikan harga. Walaupun harga minyak sawit dunia melonjak, volume ekspor CPO dan turunannya hanya naik sangat tipis dari 34,0 juta ton tahun 2020 menjadi 34,2 juta ton tahun 2021,” ungkap ekonom ternama tersebut.
“Kenaikan sangat tipis volume ekspor walaupun terjadi lonjakan harga beriringan dengan penurunan produksi CPO dari 47,03 juta ton tahun 2020 menjadi 46,89 juta ton tahun 2021,” tambahnya.
“Mengapa harga minyak goreng melonjak padahal produksi dan ekspor CPO–yang menjadi bahan baku utama minyak goreng–hanya turun sangat tipis? Ditambah lagi, permintaan minyak goreng tidak mengalami lonjakan,” demikian tanya Faisal Basri.
Kebijakan biodisel ?
“Ada satu faktor terpenting yang lepas dari perhatian pemerintah dan diskusi publik, yakni pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri,” demikian tulis Faisal Basri.
“Di masa lalu, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negeri adalah industri pangan (termasuk minyak goreng). Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik,” tambahnya.
“Peningkatan tajam terjadi pada tahun 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam minyak biosolar). Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen,” kata Faisal Basri.
“Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton tahun 2019 menjadi 8,42 juta ton tahun 2020. Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut tahun 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.”
Faisal Basri mengutip proyeksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan tahun 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada tahun 2019 masih sekitar 37 persen.
“Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan,” katanya.
“Tentu saja pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu. Hingga kini sudah puluhan triliun mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS,” kata Faisal Basri.
Itulah dilema antara CPO untuk “perut” dan CPO untuk energi. Tak pelak lagi, kenaikan harga minyak goreng adalah akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, karena selalu ada trade off (simalakama) antara CPO untuk “perut” dan CPO untuk energi.
Sebagaimana diketahui, BPDPKS merupakan lembaga yang mengelola dana pungutan ekspor sawit, di mana Komite Pengarah BPDPKS diketuai oleh Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto.