JAKARTA, Indotimes.co.id – Serikat Pekerja (SP) PLN menolak klausul kontrak klausul ‘take or pay’ yang mewajibkan PLN membeli kWh produksi pembangkit listrik swasta (independent power producer/IPP).
Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda menegaskan, salah satu pembangkit PLN yang terkena dampak dari pemberlakuan klausul take or pay tersebut yaitu PLTU Bukit Asam di Sumsel.
“Karena pembangkit IPP China Sumsel 5 mulai beroperasi pada tanggal 29 November 2016 yang lalu. Karena daya pembangkit yang berlebih pada sistem Sumsel maka PLTU Bukit Asam harus distop atau di-shutdown,” kata Jumadis Abda dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (22/12).
Menurut dia, dengan klausul take or pay tersebut maka ‘ambil atau tidak diambil’ kWh (produksi listrik swasta), PLN harus membayar dengan CF/AF sebesar 85 persen.
“Apabila hal ini terus berlanjut maka akan mendatangkan kerugian bagi PLN sekitar Rp 500 miliar per tahun,” ujar Jumadis Abda.
Kerugian itu didapat dari selisih kWh beli pembangkit IPP dibanding harga pokok produksi PLTU Bukit Asam sendiri.
Harga kWh IPP Sumsel 5 yaitu 5,8 sen dolar AS per kWh atau Rp 780 per kWh), lebih mahal dibandingkan yang dibangkitkan sendiri PLTU Bukit Asam yang hanya sekitar Rp 300 per kWh.
Oleh sebab itu, kata Jumadis, SP PLN menolak klausul take or pay pembangkit listrik swasta tersebut karena sangat merugikan PLN.
“Pada akhirnya harga listrik akan menjadi semakin mahal diterima oleh masyarakat. Karena setiap komponen biaya listrik akan dibebankan kepada harga jual listrik ke masyarakat,” ujarnya.
Untuk mencegah kerugian itu, SP PLN meminta kepada Direktur Utama PLN untuk menghilangkan atau membatalkan klausul take or pay dalam setiap perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta.
“Sehingga hanya pembangkit yang lebih andal dan murahlah yang terlebih dahulu mendapat prioritas untuk dioperasikan dan masuk sistem sesuai dengan merit order yang optimal,” kata Jumadis.
Selain itu, pihaknya juga meminta Dirut PLN untuk mengendalikan masuknya pembangkit swasta melalui Power Purchase Agreement (PPA), maksimal hanya 20 persen dari total pembangkit yang dioperasikan.
Dirut PLN dan pemerintah juga diminta untuk mengevaluasi RUPTL yang memberi kesempatan lebih besar kepada swasta untuk membangun pembangkit.
“Seharusnya sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2, kelistrikan termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak jadi harus tetap dikuasai oleh negara mulai dari hulu di pembangkit sampai sisi hilir di distribusinya. Tidak boleh diserahkan kepada perusahaan perorangan/ swasta karena menyebabkan operasional kelistrikan yang rapuh dan tidak efisien (biaya tinggi) seperti yang terjadi di sistem Sumsel ini,” katanya. (chr)