NES 2017, Gerakan Menghadirkan Energi Murah untuk Rakyat

JAKARTA, Indotimes.co.id – Seminar National Energy Summit (NES) 2017 terkait ketenagalistrikan yang digagas oleh BEM UI dan BEM FTUI bekerja sama dengan SP PLN serta didukung oleh Iluni FTUI dan Iluni UI pada Senin (7/8), akan menjadi gerakan bersama seluruh komponen pemangku kepentingan di dalam negeri untuk menghadirkan energi dan listrik murah untuk rakyat.

“Kerja sama bidang terkait yang sangat diperlukan. Misalnya dengan kementerian teknis ESDM serta sinergi antara BUMN energi seperti Pertamina, PGN dan PLN,” kata Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik dan Kawasan Edwin Hidayat Abdullah dalam paparan.

Terkait dengan reserve margin pembangkit listrik, beliau berpendapat bahwa untuk Indonesia sebaiknya reserve margin sekitar 30 persen.

“Reserve margin tidak boleh terlalu berlebih demikian juga tidak boleh terlalu kecil karena sangat beresiko terhadap biaya dan keandalan. Kita harus mencari reserve margin yang tepat,” katanya.

Baca Juga:  PhiLipe Ricci siap dukung kamu tampil lebih percaya diri dan stylish

“Jangan seperti Singapura yang reserve marginnya sampai 100 persen yang mengakibatkan tarif listrik lebih mahal, padahal biaya energi primer yang diterima mereka lebih murah,” ujarnya.

Pada pembicara sebelumnya dari akademisi UI, Prof. Iwa Garniwa terkait dengan listrik swasta yang membuat pola operasi sistem kelistrikan tidak efisien, sepakat bahwa keberadaan pembangkit listrik swasta harus dibatasi.

“Saya orang yang menolak pembangunan pembangkit listrik swasta yang lebih besar dari yang dibangun oleh PLN”, katanya.

Menurut Iwa, kalau alasan PLN tidak punya pendanaan untuk membangun, maka itu alasan yang tidak tepat.

“Seharusnya setelah revaluasi aset maka PLN punya kemampuan untuk mendapatkan pendanaan 3 kali  lebih besar dari equity-nya”, ujarnya.

Demikian juga dengan pembicara dari Dewan Energi Nasional (DEN) Prof. Tumiran memaparkan Kebijakan Energi Nasional yang mendorong energi baru dan terbarukan dalam komposisi energi nasional.

Baca Juga:  Kemensos Bekali Pilar-Pilar Sosial untuk Pencegahan Penyebaran Covid-19

“Memang pada awalnya EBT itu lebih mahal dari energi fosil karena biaya investasi awalnya yang sangat besar seperti PLTA yang harus membangun bendungan atau PLTP yang harus melakukan pengeboran mencari sumber uap, namun untuk jangka panjang sangat kompetitif,” katanya.

Pada sesi tiga seminar, hadir Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto yang didampingi oleh dua Direksi lainnya serta Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda.

Pada paparannya Sarwono menyampaikan upaya-upaya PLN untuk menekan BPP listrik. Upaya-upaya tersebut tentu saja termasuk dalam kendali Direksi PLN untuk menurunkannya.

Misalnya menurunkan susut jaringan, efisiensi bahan bakar SFC/ NPHR, reverse engineering untuk pemeliharaan pembangkit dan sebagainya.

“Kecuali biaya kepegawaian karena tidak mungkin kami turunkan, kami berusaha untuk melakukan langkah-langkah efisiensi. Namun tentu saja dalam batas-batas kendali Direksi PLN untuk menurunkannya,” ujarnya.

Terkait dengan kenaikan tarif listrik daya rumah tangga 900 VA, Sarwono menolak disebut menaikannya. Ia berkilah langkah itu hanya untuk mencabut subsidi bagi pelanggan rumah tangga mampu.

Baca Juga:  Cegah Kebutaan, BNI Gelar Operasi Katarak di Indonesia Timur

Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda mempresentasikan paparannya terkait upaya penurunan BPP agar tarif listrik lebih murah, mengatakan bahwa seharusnya tarif listrik tidak perlu naik, malah kalau bisa turun.

Jumadis menilsi, ada tiga indikator yang tidak wajar mempengaruhi BPP yang akhirnya tarif listrik naik dan PLN masih menerima subsidi dari negara mencapai Rp 60,4 triliun di tahun 2016.

Kalau ketiga indikator ini bisa dibenahi maka tarif listrik tidak perlu naik, malah PLN tidak perlu mendapat subsidi lagi. Sehingga anggaran subsidi yang sangat besar itu dapat digunakan untuk membangun infrastruktur transportasi, pendidikan dan kesehatan. Pastinya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia,” kata Jumadis. (chr)