JAKARTA, Indotimes.co.id – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Ekonomi Anwar Abbas menilai, indikator kinerja makro ekonomi Indonesia menunjukkan perekonomian nasional belum tumbuh sesuai harapan.
Hal ini terlihat dari target awal pertumbuhan yang ditetapkan 5,3 persen yang kemudian dilakukan koreksi menjadi 5,1 persen.
“Hingga triwulan-3 2016, pertumbuhan ekonomi secara kumulatif 5,04 persen. Dari sisi kualitas kinerja perekonomian masih menyisahkan beberapa tantangan yang harus dicarikan solusinya,” kata Anwar Abbas dalam diskusi publik Muhammadiyah Economic Outlook bertajuk “Proyeksi dan Dinamika Perekonomian Indonesia 2017,” di Jakarta, Rabu (14/12/2016).
Anwar Abbas juga mengatakan, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang senantiasa bekerja sama, mendukung, dan mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk di bidang ekonomi. “Muhammadiyah berpandangan bahwa pembangunan ekonomi harus berpegang pada spirit konstitusi yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah Moh Nadjikh menegaskan, beberapa tantangan atas kondisi perekonomian saat ini yang dihadapi bangsa diantaranya terkait dengan kesenjangan ekonomi sektoral, sosial, maupun antar kelompok pendapatan.
Hal ini mendorong pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dengan meningkatkan akses kelompok masyarakat terhadap berbagai sumber daya ekonomi produktif harus diupayakan lebih serius, tertata, dan berkelanjutan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini masih terpinggirkan.
Untuk itu, Nadjikh memandang, Muhammadiyah perlu hadir untuk bisa berperan aktif dalam mendorong perekonomian nasional yang lebih berkeadilan, meningkatkan daya saing sektor-sektor potensial yang belum digarap serius, seperti pertanian, perikanan, UMKM, dan industri kreatif.
“Kami akan berupaya, bagaimana agar keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia bisa lebih berdaya saing?” kata Moh Nadjikh.
Ketimpangan Sosial
Para ekonom Muhammadiyah seperti Bambang Setiadji, Nazarrudin Malik, Hendri Saparini, Arief Supari dan Mukhaer Pakkana menilai, tren ketimpangan ekonomi masyarakat semakin akut sejak era reformasi.
Sektor pertanian dan kelautan sebagai basis ekonomi rakyat peran sektoralnya terus menurun. Kontribusi di sektor pertanian pada PDB menurun dari 15,19 persen menjadi 14,43 persen. Bahkan peran sektor kelautan hanya 3 persen.
Di sisi lain 38,07 juta orang atau 26,14 juta rumah tangga yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.
Ironisnya, impor produk pertanian terus melonjak dari 3,34 miliar dolar AS hingga hampir 5 kali lipat menjadi 14,90 miliar dolar AS.
Diperparah lagi, kesenjangan antar kelompok pendapatan juga semakin memprihatinkan. Bagimana mungkin 50 orang terkaya di Indonesia kekayaannya mencapai Rp1.236 triliun atau 13 persen PDB.
Bagaimana rasa keadilan ekonomi jika 0,2 persen penduduk, menguasai 66 persen aset lahan nasional.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2015), sekitar 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara.
Peranan UMKM dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional juga sangat strategis. Kontribusinya terhadap PDB mencapai 60,34 persen, dengan serapan tenaga kerja 97,22 persen.
Ketidakseimbangan antara “kue ekonomi” yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja menjadikan produktivitas UMKM juga relatif masih rendah. (chr)