JAKARTA, Indotimes.co.id – Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Soyano Zakaria mengingatkan, bisnis eceran BBM non subsidi harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang ada.
“Tidak ada pengecualian terhadap hal ini walaupun badan usaha itu bermitra dengan usaha kecil sekalipun. Konsumen harus dilindungi,” kata Sofyano Zakaria dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (13/8/2017).
Hal ini sehubungan dengan adanya Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum (BU-PIUNU) yang akan berbisnis eceran BBM non subsidi menggantikan keberadaan eceran BBM tanpa izin yang dikenal dengan Pertamini cukup mendapat perhatian publik.
Keberadaan Pertamini yang tanpa izin pihak berwenang jelas bertentangan dengan UU migas dan juga Undang Undang lain seperti UU Lingkungan Hidup dan UU Metrologi legal.
Eceran bahan bakar minyak harus memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam UU Migas, UU Lingkungan Hidup yang dalam hal ini harus memiliki Dokumen UKL/UPL dan juga alat takar atau alat ukur BBM yang dijual harus ditera dan ditera ulang oleh pihak Metrologi mengacu kepada UU Metrologi legal.
Sofyano juga menegaskan, kualitas BBM yang dijual eceran harus terjamin mutunya sesuai ketentuan pemerintah dalam hal ini pihak kementerian ESDM.
Takaran BBM-nya pun harus terjamin sesuai jumlah yang dibeli konsumen dan untuk ini alat takar atau alat ukurnya harus lolos uji tera dan tera ulang berkala pihak Metrologi.
“Karena ada perbedaan harga antara BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi maka BBM non subsidi yang dijual eceran pada kios BBM, tergolong rentan berpotensi bisa dengan mudah dioplos. Misalnya dioplos dengan BBM jenis premium yang adalah bbm bersubsidi,” ujar pengamat kebijakan energi ini.
Menurut Sofyano, bisnis eceran BBM yang jika dilakukan dalam moda kiosk BBM seperti Pertamini, rentan pula terhadap keamanan lingkungan.
Apalagi BBM tergolong barang berbahaya yang mudah terbakar atau dibakar.
“Dan ini tentu akan berdampak terhadap keamanan lingkungan. Karenanya outlet ini harus dilengkapi setidaknya dengan dokumen UKL UPL yang mengacu kepada UU Lingkungan Hidup. Ini harus jadi perhatian pemerintah daerah setempat dan pihak Kementerian ESDM pula,” kata Sofyano.
Selain itu, keakuratan takaran dan kwalitas, juga perlu pengawasan yang rutin dan ketat terhadap bisnis eceran BBM, mengingat omset pada kios BBM eceran tidak akan sebanyak pada SPBU.
“Terhadap rentannya hal tersebut, saya sangat tidak mendukung jika bisnis eceran BBM ditangani oleh BUMN Pertamina dan atau anak perusahaannya,” ujar Sofyano.
Pertamina sebuah badan usaha besar yang sudah dikenal dunia internasional bisa turun pamornya jika ikut dalam bisnis “asongan”.
Selain itu, imaje pertamina dan atau anak perusahaannya akan terancam tercemar bisnis eceran BBM ini bermasalah dengan kualitas dan ketepatan takaran.
“Pertamina sebaiknya cukup menjadi pemasok BBM-nya saja ke BUPIUNU tanpa perlu terlibat dalam pengelolaan dan bisnis eceran BBM tersebut,” katanya.