JAKARTA, Indotimes.co.id – PT PLN (Persero) berinovasi mencari alternatif pendanaan lainnya. Salah satu alternatif pendanaan tersebut yaitu dengan mentransformasi aset finansial menjadi efek yang disekuritisasi.
Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto mengatakan, model-model pendanaan yang sudah ada memiliki keterbatasan, sehingga PLN perlu memperluas sumber pendanaan.
“Salah satu alternatif model pendanaan lain adalah melakukan sekuritisasi aset atau Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA),” kata Sarwono Sudarto dalam paparan kinerja keuangan saat acara buka puasa bersama di Jakarta, Senin (12/6/2017).
Menurut dia, saat ini PLN sudah memperoleh pendanaan melalui beberapa model, seperti obligasi, pinjaman bank,
penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA), dan pinjaman dengan export credit agency (ECA).
Meski demikian, karena terkendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Perbankan dan sumber-sumber pendanaan nasional.
Sarwono menjelaskan, rencana sekuritisasi atau EBA yang dilakukan PLN dengan cara menkonversi pendapatan di masa depan menjadi surat berharga untuk mendapatkan cash di awal.
“Yang dijadikan dasar sekuritisasi adalah future cash flow dari pendapatan PT Indonesia Power, anak perusahaan PLN di bidang pembangkitan listrik,” ujarnya.
Aset yang disekuritisasi merupakan aset keuangan, yaitu piutang yang akan diterima PT Indonesia Power atas perjanjian jual beli listrik dengan PLN yang dihasilkan oleh salah satu pembangkit PT Indonesia Power, Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya.
“PLTU ini memiliki kapasitas 3.400 megawatt (MW)
dan berkontribusi sekitar 12 persen pada sistem Jawa Bali,” kata Sarwono.
Terlebih, PLTU Suralaya adalah PLTU terbesar di Indonesia, dan merupakan aset yang sangat bagus dan terawat. Masa manfaat PLTU Suralaya masih 20 tahun lagi dan memiliki performance operasi yang luar biasa.
Dia juga memperkirakan revenue stream PLN per tahun sekitar Rp 300 triliun. Hal ini akan menjadi jaminan (quarantee) dari kontrak investasi, yang sebagiannya berasal dari prepaid dari pelanggan sebesar
12 persen.
Dalam satu tahun, lanjut dia, penerimaan transaksi listrik PLTU Suralaya sebesar Rp 12 triliun yang terbagi atas beberapa komponen, yaitu pengembalian investasi, pemeliharaan, bahan bakar dan
pelumas, kimia, air, dan lain sebagainya.
“Komponen pengembalian investasi inilah yang menjadi pengembalian dari pinjaman dari KIK-EBA ini,” ujar Sarwono.
Dalam kontrak PPA ini, nantinya akan mendapatkan Rp 2,5 triliun per tahun dari hasil penjualan sebesar Rp 12 triliun tersebut.
“Sangatlah tepat bagi para investor untuk berinvestasi pada struktur EBA ini, karena memiliki tingkat risiko yang jauh lebih rendah, mesin pembangkitnya sudah tersedia dan jaminan transaksinya jual-belinya sudah pasti oleh PLN dimana dalam jangka waktu 5 tahun ke depan sebesar Rp 10 triliun akan dikembalikan dalam bentuk PPA/kontrak jangka panjang yang sudah pasti,” ujar Sarwono.
Sarwono menegaskan, tidak ada aset tetap PLN yang dijual dalam sekuritisasi aset. Aset pembangkit masih menjadi milik Indonesia Power dan tetap dicatat di buku konsolidasi PLN sebagai induk
perusahaan. Dengan kata lain, tidak terjadi perpindahan aset tetap.
“Demikian juga dengan kepemilikan saham, dengan sekuritisasi aset ini tidak ada pengalihan saham
ataupun privatisasi. Pemerintah tetap sebagai pemilik saham PLN seratus persen. Dan PLN pun tetap sebagai pemilik saham Indonesia Power,” kata Sarwono.
Nantinya dana yang diperoleh dari sekuritisasi EBA ini akan digunakan untuk membangun proyek infrastruktur kelistrikan Indonesia.
“Kita rencanakan tenor 5 tahun untuk sekuritisasi aset ini,” kata Sarwono.