JAKARTA, Indotimes.co.id – Menkop dan UKM Teten Masduki mengatakan meski memberikan kontribusi pada PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 60 persen, namun sumbangan UMKM terhadap ekspor baru mencapai 14,5 persen atau lebih rendah dibanding UMKM di Thailand, Vietnam maupun Korea.
“Tapi kita optimis kalau problem UMKM dibenahi, kontribusi UMKM pada ekspor bisa ditingkatkan dalam 5 tahun ke depan. Tapi yg paling utama adalah UMKM harus menguasai market dalam negeri dulu,” kata Menkop dan UKM Teten Masduki dalam seminar bertema ‘Peran UMKM dalam Mendorong Akselerasi Peningkatan Ekspor dan Mendorong Pasar Dalam Negeri untuk Indonesia Maju’ di sela Raker Kemendag di Jakarta, Kamis (5/3)
Menteri Teten memaparkan, survei OECD 2018 menunjukkan daya saing terkait kualitas dan standard produk Indonesia masih di peringkat 4 untuk kawasan Asia Tenggara. “Hal itu menunjukkan UMKM kita harus terus berbenah untuk bisa meningkatkan daya saingnya. Yang akan kita fokuskan untuk meningkatkan ekspor adalah perusahaan menengah, bagaimana mereka bisa beralih dari teknologi sederhana menjadi teknologi maju sehingga bisa mendapatkan sertifikasi kelas dunia,” jelas Menkop dan UKM.
Pembangunan UMKM kata Menteri Teten, akan diarahkan pada sentra-sentra produksi sehingga bisa dilakukan penataan dan pembinaan dalam satu tempat. Juga akan ada sharing factory atau rumah produksi bersama, yang akan menjawab masalah perbaikan standard produk. “Contohnya, di industri kayu, karena tak punya alat modern, maka mutu kayu yang dihasilkan menjadi kurang bagus,” ujar Menteri Teten.
“Sebenarnya sudah ada model rumah produksi bersama untuk sentra industri makanan, yaitu di Payakumbuh Sumbar, yang bahkan sudah mampu mengekspor bumbu rendang ke Arab Saudi untuk jamaah haji asal Indonesia. Dengan sharing factory ini, juga menjawab masalah perijinan dan legalitas dari BPOM maupun MUI,” ujar Menteri Teten.
Menteri Teten menambahkan ide tentang rumah produkai bersama ini, bukan hanya bertujuan meningkatkan daya saing UMKM. Namun juga bisa menjadi wadah konsolidasi lintas sektoral, pasalnya yang mengurus UMKM setidaknya ada 18 K/L. Manfaat lain, sharing factory juga menjawab masalah kapasitas produksi UMKM yang biasanya tidak mampu melayani permintaan dalam jumlah besar dan supply yang teratur.
“Ada pemikiran juga, jangan terlalu banyak merek untuk produk UMKM sejenis. Produknya bisa diringkas dalam satu atau dua brand saja sehingga kapasitas produksinya besar, dan persaingan antar UMKM tidak terlalu keras. Misalnya bapkia patok, saya kira persaingannya sudah tidak sehat karena brand nya terlalu banyak, sebaiknya di konolidasi saja,” ujar Menteri Teten.
Destinasi Daerah
Dalam kesempatan yang sama Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yusran Maulana mengatakan, sebenarnya banyak peluang bagi UMKM untuk memasok produk dan jasa pada industri perhotelan, baik saat pembangunan hotel maupun ketika sudah beroperasi. “Untuk beberapa produk misalnya peralatan kebersihan, kualitas yang dihasilkan UMKM belum memenuhi standar yang ditetapkan,” kata Yusran.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan makanan minuman termasuk buah-buahan industri perhotelan, masih banyak dipasok dari pulau Jawa. “Bukannya di daerah tidak ada potensi, namun masalah kontinuitas pasokan masih belum mampu, sehingga hotel hotel di Sumatera atau Kalimantan dalam memenuhi kebutuhan makanan minuman masih mendatangkan dari Jawa,” katanya.
Yusran menambahkan UMKM disarankan lebih menonjolkan keunggulan keunikan produk dari destinasi wisata setempat. “Tren pariwisata ke depan akan mengarah pada destinasi wisata, ini yang kurang ditangkap UMKM, karena umumnya produk kerajinan yang ditawarkan UMKM hampir sama disetiap destinasi,” tambah Yusran.
Dalam raker Kemendag itu juga dilakukan MoU antara Kementrian Perdagangan, Kementrian Pariwisata dan Ekononi Kreatif, Kementrian Koperasi dan UKM serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tentang pemberdayaan UMKM.