JAKARTA, Indotimes.co.id – Polemik revisi UU KPK yang kini ditolak oleh sebagian masyarakat, dinilai perlu menggunakan jalan pintas penyelesaiannya, yakni dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Peraturan Perundang-undangan (Perppu). Akan tetapi pandangan tersebut dinilai tidak sesuai konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Praktisi hukum senior, Alamsyah Hanafiah, angkat bicara terkait perlu atau tidaknya Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Dia menilai, penerbitan perppu harus didahului dengan memberlakukan revisi UU KPK hasil pembahasan pemerintah dengan DPR sebagai undang-undang.
“Sedang kan perppu itu sendiri, dimana RUU yang sudah disahkan harus diundangkan dahulu dalam daftar lembaran negara. Baru bisa dibuat Perppunya,” ujar Alamsyah kepada wartawan, Kamis (10/10/2019).
Dia berpandangan, dengan maraknya protes dan kini revisi UU KPK telah menjadi diskursus publik, pesiden kalaupun akan menerbitkan perppu mesti melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi.
“Harus terbuka, supaya masyarakat bisa menyampaikan pendapatnya. Sehingga tidak terjadi kontra di masyarakat, dan pembuatannya melibatkan akademisi dan para praktisi hukum,” tegasnya.
Namun demikian, menurut Alamsyah, penerbitan perppu dinilai janggal. Sementara menempuh jalur hukum judicial review (JR) juga akan prematur, sebab RUU KPK belum disahkan. Oleh karena itu, menurut Alamsyah, jalan terbaik adalah mengundangkan terlebih dahulu UU KPK hasil revisi itu.
“Syarat untuk judicial review juga harus harus diundangkan dulu. Setelah menjadi Undang-undang. Karena RUU bukan objek judicial review. Yang bisa dijadikan uji materiel adalah undang-undang bukan RUU. Karena RUU setelah disahkan presiden harus diundangkan dengan cara dibuat dan didaftarkan dalam lembaran negara,” pungkasnya.