JAKARTA, Indotimes.co.id – Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN) menolak Power Wheeling yang merupakan sebuah konsep lama yang dikenal dalam struktur liberalisasi ketenagalistrikan. Pasalnya, skema Power Wheeling tersebut dinilai sebagai benalu dalam transisi energi nasional.

Ketua Umum DPP SP PT PLN, M. Abrar Ali mengatakan, skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) tersebut memungkinkan pihak swasta negara untuk menjual energi di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.

“Penerapan Power Wheeling dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi , hukum, teknis, maupun ketahanan energi,” kata M. Abrar Ali dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (6/9).

Menurut Abrar, skema Power Wheeling sangat kontradiksi dengan No. 20 Tahun 2022. Power Wheeling merupakan dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.

Baca Juga:  HIPMI Minta Transisi Energi Harus Perhatikan UMKM

“Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan,” ujarnya.

Selain itu, Abrar menegaskan, Power Wheeling menjadi potensi sengketa. Sebab Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya (blackout) dan merugikan masyarakat luas.

Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Abrar juga menyinggung latar belakang legal Power Wheeling dan energi. Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor .

Baca Juga:  Kemenkop Dorong Restrukturisasi Kredit Bagi UMKM di Daerah Bencana

“Kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini,” katanya.

Selain itu, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT.

Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. “Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional,” ungkap Abrar.

Lebih lanjut Abrar mencontohkan studi kasus di Filipina. Pelajaran dari privatisasi dan Power Wheeling di
Filipina telah lebih dahulu menerapkan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001.

Baca Juga:  Serikat Pekerja Desak Jokowi Batalkan Rencana Holding-Subholding Pertamina-PLN

Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan Power Wheeling. Sejak penerapan skema Power Wheeling di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan sebesar 55 persen.

“Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar,” ujar Abrar.

Di samping itu, dia menambahkan, adanya potensi terbentuknya kartel. Power Wheeling memungkinkan produsen listrik swasta menjual langsung ke konsumen dan menetapkan harga sesuai dengan dinamika pasar.

“Hal ini membuka peluang bagi pembentukan kartel yang dapat memonopoli harga dan mengurangi persaingan sehat di sektor ketenagalistrikan,” ungkapnya.