Bertentangan UUD 45, Permen Gross Split Bakal Menuai Gugatan di PTUN

JAKARTA, Indotimes.co.id – Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) mengenai perubahan sistem kontrak bagi hasil produksi migas atau production sharing contract (PSC) ke sistem gross split bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 serta mengkhianati program Nawacita Jokowi.

Akibatnya, peraturan tersebut bakal menuai gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Sesuai Pasal 53 ayat 2 UU PTUN, alasan menggugat suatu keputusan tata usaha negara (KTUN) ke PTUN sangat mendasar. KTUN yang diajukan gugatan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini UUD 1945 Pasal 33,” kata Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi Energi dan Sumber Daya Alama (LKA EDA) AC Rachman dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (10/12/2016).

Untuk itu, dia menegaskan, kementerian atau pejabat tata usaha negara sebelum mengeluarkan keputusan seperti Permen Gross Split ini harus mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dalam keputusan itu.

Baca Juga:  Semarak HUT DKH Ke-4 Hospitals Group, Menunjukan Kolaborasi Manajemen, Karyawan dan Masyarakat Menuju Indonesia Sehat

“Tentu ini didasari demi melindungi dan menjaga kepentingan masyarakat luas, mengukuhkan peran negara dalam pengelolaan sumber daya alam, di samping memberikan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha di dalam negeri. Mereka dapat mengajukan gugatan tersebut secara bersama-sama,” ujar advokat ini.

Sebelumnya, Ketua Bidang Energi Seknas Jokowi, Tumpak Sitorus menegaskan, ada upaya-upaya dari pihak tertentu yang ingin menghilangkan kontrol dan peran negara dalam pengelolaan strategis sumber daya alam Indonesia melalui penghapusan cost recovery dan menerapkan sistem bagi hasil dengan skema gross split.

“Dengan sistem bagi hasil menggunakan cost recovery, Negara melalui SKK Migas bisa memaksa KKKS menempatkan dananya di bank BUMN, bisa memaksa KKKS mengurangi tenaga kerja asing, bisa memaksa KKKS menggunakan produk-produk Indonesia, bisa memaksa KKKS menggunakan produk pengusaha lokal, bisa memaksa KKKS menggunakan hasil petani lokal, bisa memaksa KKKS membantu mengembangkan kemampuan masyarakat lokal,” ujar Tumpak dalam keterangannya, baru-baru ini.

Baca Juga:  Anggota DPRD Maluku Edwin Adrian Huwae Meninggal Dunia

Hal itu berbeda sekali dengan sistem bagi hasil menggunakan skema gross split dimana KKKS diberi kewenangan penuh mengelola sendiri rencana anggaran dan kegiatan tanpa di kontrol oleh negara, “Dengan demikian sistem pengelolaan hulu migas dengan skema gross split adalah upaya liberalisasi sektor hulu migas di Indonesia,” ujarnya.

Kondisi inilah yang membuat Seknas Jokowi menolak tegas penerapan skema bagi hasil dengan sistem gross split karena bertentangan dengan Nawacita Jokowi. “Ini sama saja dengan penghinaan dan pengkhianatan terhadap Presiden Jokowi,” ujarnya.

Pihaknya juga meminta Menteri dan Wamen ESDM tidak menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan Nawacita Jokowi. “Kami ingin melanjutkan Pemerintahan Jokowi hingga tahun 2024 sehihgga kami ingin memastikan bahwa pembantu-pembantu Presiden sudah paham dengan langkah dan arah kebijakan Jokowi seperti tertuang dalam Nawacita,” katanya.

Seperti diketahui, saat ini Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sedang berupaya membuat Peraturan Menteri ESDM untuk penerapan sistem bagi hasil dengan skema Gross Split untuk diberlakukan di dalam pengelolaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Targetnya, sistem gross split sudah bisa diterapkan tahun depan.

Baca Juga:  Pleno Perdana PWI Pusat Tetapkan HPN 2025 di Provinsi Riau