JAKARTA, Indotimes.co.id – Keberadaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) seperti yang ada di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran yang khusus bisa memungut biaya bongkar muat tanpa melakukan bongkar muat, harus dikaji ulang oleh Kementerian Perhubungan dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang memiliki kewenangan untuk itu.
Pasalnya, praktik-praktik yang mereka lakukan hanya akan menambah mahal biaya logistik.
“Keberadaan mereka harus ditinjau ulang, karena praktik-praktik yang mereka lakukan hanya akan menambah mahal biaya logistik,” kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin (20/3/2017).
Menurut Sofyano, pihak yang berwenang terhadap siapapun yang beroperasi di Pelabuhan yang memungut biaya bongkar muat tanpa melakukan kewajibannya harus pula melakukan audit terhadap pungutan yang telah dilakukan dan menyerahkan hal tersebut kepada proses hukum.
Dengan demikian, kasus semacam ini bisa menjadi triger untuk dihapusnya praktek pungutan liar di sektor pelabuhan.
Apalagi, kata Sofyano, secara terang benderang praktik pungutan tersebut bisa menjelaskan kepada publik siapa yang paling bertanggung jawab.
“Jadi sekali lagi, keberadaan Koperasi TKBM perlu ditinjau ulang kewenangan dan manfaatnya buat tenaga bongkar muat. Selain itu jika di sebuah pelabuhan sudah menggunakan alat bongkar muat modern, lalu apa masih perlu ada Koperasi TKBM. Polisi harus membongkar tuntas hal ini,” kata Sofyano.
Namun menurut Sofyano, perlu juga dipertimbangkan bagaimana nasib para buruh tenaga bongkar muat yang tidak bisa memberikan jasanya akibat Pelabuhan yang bersangkutan memiliki alat bongkar muat seperti crane.
“Ini juga menyangkut lapangan kerja. Jangan karena ada alat atau mesin malah manusia menjadi terpinggirkan dan menderita,” katanya.
Sebelumnya Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) BUMN Bersatu Arief Poyuono mengungkapkan, praktik pungli di area operasi pelabuhan sebenarnya sudah terjadi puluhan tahun lalu.
Hanya saja kegiatan Koperasi TKBM selama ini dibackingi oleh internal PT Pelindo, Kementerian Perhubungan serta oknum-oknum penegak hukum di wilayah Pelabuhan,
“Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa tapi pratek pungli seperti yang dibongkar Polisi itu sebenarnya sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu di area operasi Pelabuhan, hanya memang mereka selama ini dilindungi oleh oknum-oknum di Pelabuhan,” katanya.
Menurut Arief, dengan terbongkarnya kasus tersebut menunjukan kalau di kalangan penegak hukum sudah mulai terjadi revolusi mental untuk membersihkan pungli yang dihasilkan oleh “benalu-benalu” berkedok koperasi yang telah menyebabkan biaya ekonomi tinggi.
“Saya pikir sangat jelas ya kerja Menteri Perhubungan sekarang ini yang tidak ada kompromi dengan yang namanya pungli di sektor perhubungan khususnya Pelabuhan,” katanya.
Karena itu, lanjut dia, perlu sebuah sistem dan aturan keras dan jelas yang dikeluarkan oleh Kemenhub sebagai regulator Pelabuhan untuk mencegah terjadinya pratik-pratik pungli. Misalnya dengan mengharuskan adanya pendaftaran badan usaha yang akan melakukan aktivitas di Pelabuhan.
“Dan tidak sembarang orang bisa masuk di area Pelabuhan seperti di Pelabuhan-Pelabuhan luar negeri. Karena ternyata yang selama ini sejatera justru pengurus Koperasi TKBM, sedangkan buruh bongkar muatnya justru terus sengsara kehidupan ekonominya,” katanya. (chr)