JAKARTA, Indotimes.co.id – Bulan suci Ramadan adalah bulan penuh berkah dan ampunan. Karena itu, umat Islam berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah wajib dan sunnah.
Namun tidak hanya ibadah, umat Islam juga dihadapkan tantangan untuk melawan hawa nafsu. Juga bagaimana memahami makna keseimbangan ibadah dan harmoni hidup bermasyarakat.
Sekjen PB – DDI (Pengurus Besar Darud Da’wah Wal Irsyad), Dr. H. Muh. Suaib Tahir, Lc., MA., menjelaskan pentingnya menjalani bulan suci ini dengan khidmat dan sekaligus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia.
“Menjadi suatu keharusan bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara ibadah kepada Tuhan dan kewajiban sosial terhadap sesama manusia. Bulan Ramadan bukan hanya tentang meningkatkan kuantitas ibadah, tetapi juga tentang meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan bermasyarakat,” terang Dr. Suaib Tahir di Bogor, Jumat (14/3).
Ia menegaskan bahwa ibadah yang benar selayaknya mencakup kedua dimensi ini: vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan horizontal (hubungan dengan sesama manusia).
Dirinya juga menekankan pentingnya memahami konteks ruang dan waktu dalam menjalankan ibadah yang diyakini. Umat Islam sebaiknya bisa mempertimbangkan lokalitas dan menjaga rasa toleransi dalam menjalankan ibadah.
Prinsipnya adalah menghormati lingkungan sekitar serta tidak mengganggu orang lain.
Dalam konteks memaknai Pancasila sebagai landasan bernegara Indonesia, jabolan Al Azhar Mesir ini menyimpulkan bahwa nilai-nilai keimanan kepada Tuhan, kemanusiaan, dan persatuan sangat relevan dengan suasana Ramadan.
“Bulan suci Ramadan memberikan kesempatan bagi umat Muslim untuk memperkuat iman kepada Tuhan, merasakan empati terhadap penderitaan sesama manusia, dan mempererat silaturahmi antar individu dan komunitas,” jelasnya.
Ia berujar, jika bicara puasa Ramadan dalam konteks ibadah, berarti erat kaitannya dengan konsep ketuhanan. Dalam Pancasila, ketuhanan diletakkan di poin pertama, menandakan signifikansinya yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pada seluruh agama dan keyakinan yang diakui di Indonesia, sosok Tuhan juga diyakini sebagai entitas yang mengawasi semua ciptaannya.
“Tuhan diimani sebagai figur yang mengetahui segala sesuatu. Kita meyakini bahwa Tuhan itu Maha Esa. Hal ini tidak hanya berarti mengimani sebagai bahwa Tuhan itu satu, akan tetapi kita mengimani sebagai bahwa Tuhan itu satu-satunya yang mengetahui segala kegiatan kita,” kata Dr. Suaib.
Ia menegaskan memaknai puasa Ramadan sebagai sarana penggugah rasa kemanusiaan. Saat menahan lapar dan dahaga ketika berpuasa, seorang muslim turut merasakan bagaimana orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makan dan minum.
Ia menambahkan, menempatkan dirinya pada kondisi yang sama dengan mereka yang tidak berkecukupan menjadi wujud solidaritas umat Islam. Misalnya saja, kondisi lapar dan haus yang saat ini dirasakan oleh muslim yang berpuasa, ternyata sudah dirasakan terlebih dulu oleh rakyat Palestina dalam menghadapi konflik berkepanjangan.
Dr. Suaib mengungkapkan, saat ini umat Islam bisa sedikit merasakan bagaimana penderitaan rakyat Palestina dalam menghadapi kehidupan. Dengan ikut merasakannya, diharapkan bisa memunculkan rasa empati untuk membantu siapapun yang tertimpa musibah dan mereka di sekitar kita yang tidak berkecukupan.
“Oleh karenanya, puasa itu tidak hanya mengandung nilai keimanan kepada Tuhan, namun juga nilai kemanusiaan. Rasa kebersamaan yang begitu tinggi juga bisa kita rasakan ketika melaksanakan salat tarawih berjamaah dan buka puasa bersama dengan keluarga dan teman-teman. Hal tersebut tentu akan memperkuat rasa persaudaraan dan silaturahmi,” tambah Dr. Suaib.
Mengingat Ramadan tahun ini yang juga berdekatan dengan berakhirnya Pemilu 2024, Dr. Suaib juga menyoroti situasi politik yang kian tegang.
Dia menegaskan pentingnya perdamaian dan stabilitas sosial sebagai bagian dari keseluruhan pengalaman Ramadan.
Ia berharap pemerintah dan seluruh masyarakat dapat bekerja sama untuk menyelesaikan perbedaan dengan cara yang damai, dan memastikan bahwa negara tetap aman selepas perhelatan Pemilu 2024.
Demi terciptanya kolaborasi yang baik dalam kehidupan sosial, diperlukan sumbangsih dari semua elemen masyarakat Indonesia.
“Kalau misalkan selama ini kita kurang berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, sudah sepatutnya kita berkontribusi lebih banyak lagi. Jika selama ini kita kurang membantu orang di sekitar, kita harus persiapkan bagaimana supaya solidaritas terhadap sesama bisa ditingkatkan setelah Ramadan,” imbuhnya.
Mengakhiri penjelasannya terkait esensi Ramadan di tahun ini, Dr. Suaib mengungkapkan bahwa rakyat Indonesia dihadapkan dengan kondisi kehidupan sosial yang agak sulit pasca Pemilu 2024. Hal ini karena Ia rasa masih banyak riak-riak gesekan bahkan perpecahan horizontal yang masih tersisa di tataran akar rumput.
“Kita semua berharap bahwa di bulan suci Ramadan, khususnya mengenai situasi politik yang belum sepenuhnya stabil, Pemerintah serta pihak terkait dapat menyelesaikannya dengan baik. Dengan demikian, kita bisa mengharapkan kondisi masyarakat dan negara Indonesia kembali aman dan damai,” tandasnya.