JAKARTA, Indotimes.co.id – Terdapat miskonsepsi di sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi kegiatan dakwah. Anggapan bahwa dakwah keagamaan haruslah berujung pada konversi keimanan sejatinya adalah penyempitan dari semangat dakwah itu sendiri.
Masyarakat Indonesia yang telah memeluk agamanya masing-masing, tentu akan mengalami segregasi sosial jika ada pihak yang memaksakan perpindahan keyakinan sebagai tujuan tunggal dalam berdakwah.
Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum., menjelaskan bahwa disamping konversi keimanan, tujuan dakwah sendiri sebenarnya menitikberatkan pada ajakan kebaikan, dan saling mengingatkan pada kemungkaran atau perbuatan jahat.
“Sebetulnya dakwah itu makna dasarnya adalah ‘mengajak kepada kebaikan.’ Nilai kebaikan itulah yang menjadi fokus dalam berdakwah itu sendiri. Ayatnya, yad’una ilal khairi, di surat Al-Imran ayat 104, yang berarti mengajak kepada kebaikan, berdakwah atau mendakwahkan kebaikan. Melalui ayat ini, kita juga diperintahkan untuk menjaga diri dari kemungkaran, serta mengingkari segala hal yang tidak baik,” jelas Dr. Syarif di Jakarta, Kamis (10/10).
Menurut Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini, dalam berdakwah itu salah kalau memaksakan keimanan orang lain untuk masuk kepada agama pendakwah. Jika mengingat kembali kisah hidup Rasulullah SAW, Nabi Muhammad bisa hidup secara harmoni dengan para pemeluk agama lain tanpa ada paksaan.
Dr. Syarif juga menyoroti pemaksaan konversi keimanan yang seolah ditempatkan konteksnya pada masa peperangan. Menyikapi situasi hidup dalam kondisi berperang jelas tidak sama seperti sekarang. Dalam peperangan, pilihannya hanya dua, menang atau kalah.
Dirinya pun mengambil contoh dari kejadian Fathul Makkah (Penaklukkan kota Makkah) di zaman Nabi Muhammad.
Ia bercerita, ketika Fathul Makkah terjadi, faktanya Rasulullah SAW tidak memaksa semua penduduk Makkah untuk masuk Islam. Salah satu hal yang dikatakan oleh Rasulullah SAW kala itu, siapapun yang tidak keluar rumah, dia akan aman.
“Menyatakan masuk Islam pada kejadian Fathul Makkah bukan faktor tunggal seseorang bisa selamat dari peristiwa tersebut. Kejadian ini menekankan bahwa dakwah Islam yang tanpa paksaan sudah ada dari zaman Rasulullah,” ungkap Dr. Syarif.
Kegiatan dakwah keagamaan juga sebaiknya disampaikan oleh dai atau penceramah yang memang memiliki kedalaman ilmu agama. Dr. Syarif yang juga aktif sebagai Pembina Yayasan Raudhatul Mustariyah ini berpendapat bahwa kualitas materi yang disampaikan dalam dakwah keagamaan sangat bergantung pada kapasitas si penceramah.
Menurutnya, di ADDAI (Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia) sendiri telah mengedepankan kaderisasi dai yang mampu berdakwah dengan cara yang merukunkan, menentramkan, dan memberikan solusi terhadap hal-hal yang menjadi persoalan di masyarakat.
Dr. Syarif tidak setuju jika dai atau pendakwah agama justru mempertajam perbedaan yang ada antar golongan masyarakat. Dai seharusnya berkontribusi dalam menjaga keutuhan NKRI, dan membantu masyarakat yang ingin memperbaiki diri serta mengenali ajaran agamanya. Dai juga harus mampu memberikan ruang dialog dengan orang-orang dari kelompok, dan bahkan agama yang berbeda.
“Dakwah keagamaan dituntut untuk bisa memuat narasi toleran terhadap perbedaan. Boleh tegas terhadap hal-hal yang sifatnya akidah, tapi juga harus toleran terhadap sesuatu yang bukan menjadi prinsip agama, atau yang menjadi hasil dari perbedaan,” tambahnya.
“Maka penting bagi para dai itu terbiasa untuk tidak menyikapi hal-hal yang dari khilafiyah, pertentangan, perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang sifatnya ini tidak produktif. Penting pula untuk ditekankan pada para dai, bahwa berdakwah itu harus dengan ilmu. Kalau berdakwahnya dengan ilmu, baik dai dan audiens nya, pasti tidak akan sampai pada sikap intoleransi, radikalisme, atau bahkan mendukung aksi terorisme,” terangnya kembali.
Dr. Syarif juga berpesan agar semboyan Bhineka Tunggal Ika dipahami dan diamalkan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, diharapkan masyarakat Indonesia mampu menerima orang lain yang tidak sama sikapnya, cara pandangnya, gaya hidupnya, atau cara berpikirnya dengan kebanyakan orang. Dalam hal ini, dakwah keagamaan bisa memenuhi fungsinya sebagai corong moderasi beragama, sehingga masyarakat yang berbeda-beda ini bisa berjalan beriringan dan berkolaborasi.
“Sebagai umat manusia, kita memang diciptakan berbeda, maka haruslah juga kita memahami agar tidak memaksakan bahwa kita seorang yang paling benar, paling baik, atau yang paling berilmu dan lain sebagainya. Cukuplah peristiwa Piagam Madinah menjadi contoh dari Rasulullah, bagaimana perbedaan di masyarakat Madinah bisa disatukan melalui komitmen untuk hidup berdampingan dan saling menjaga,” pungkas Dr. Syarif.