JAKARTA, Indotines.co.id – Ramainya konfrontasi akibat rencana pembahasan RUU Pilkada adalah bagian dari berdemokrasi di Indonesia. Pro dan kontra yang terjadi adalah bukti bahwa masyarakat semakin dewasa dalam bernegara karena ikut mengawasi jalannya pembuatan kebijakan. Apapun dialektika dan pertentangan yang terjadi di ruang publik, jangan sampai dinodai oleh agenda ideologi transnasional.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Dr. Trubus Rahardiansyah, M.S., S.H., M.H., mengatakan bahwa segala kericuhan dan gesekan yang terjadi di masyarakat atau di ruang publik berpotensi disusupi oleh agenda politik tertentu, termasuk dari gerakan radikal.

“Memang dari kejadian demo RUU Pilkada lalu tidak terdengar adanya seruan gerakan khilafah, tetapi dari pernyataan dan cara sebagian pihak yang mengutarakan pendapatnya di media sosial ada yang mengarah kesana,” ujar Trubus di Jakarta, Selasa (27/8).

Dari pantauan Dr. Trubus, ada beberapa akun di media sosial yang menyelipkan pernyataan dengan unsur intoleransi dan radikalisme ketika media sosial sedang hangat-hangatnya membahas demonstrasi di depan Gedung DPR.

“Sebagian pernyataan yang saya temukan di media sosial berbau hasutan, provokasi, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga mengarah kepada adu domba antar kelompok masyarakat. Ini semua dilakukan dengan memanfaatkan kejadian yang ada, dibumbui oleh kebohongan atau hoaks. Arahnya itu adalah membenturkan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum,” terangnyanya.

Baca Juga:  Perppu Tak Selesaikan Masalah, PPP Usul Legislatif Review

Menurutnya, ada pihak yang ingin mendorong masyarakat untuk melakukan pembangkangan kepada negara. Ujung dari pembangkangan ini tidak lain adalah ingin menarasikan bahwa apa yang dijalankan oleh Indonesia ternyata tidak berhasil mewadahi kepentingan rakyatnya.

Dari sini kelompok radikal akan mudah menggiring masyarakat untuk meragukan landasan negara Indonesia, seperti Pancasila dan UUD 1945.

Penggiringan opini publik, kata Dr. Trubus, bahkan sudah sampai pada narasi bahwa TNI dan Polri adalah dua entitas yang berseberangan. Kelompok intoleran dan radikal cenderung memberikan pujian pada TNI, lalu memberi narasi bahwa Polri adalah musuh bersama. Mereka ingin TNI, yang notabene ada bersama Pemerintah, melindungi gerakan radikal dari aparat Kepolisian.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menambahkan, walaupun demo RUU Pilkada berlangsung dengan kericuhan, keutuhan dan kestabilan Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat patut disyukuri.

Baca Juga:  JPU Hadirkan 5 Saksi pada Sidang Ahok

“Demo kemarin memang terjadi di banyak tempat, tapi agenda besarnya sebenarnya lebih kepada kepentingan politik dan ketidakpuasan masyarakat atas keputusan legislatif. Bahwa ada tendensi nepotisme dalam skala yang lebih besar yang dikhawatirkan akan mencederai demokrasi Indonesia, itu yang akhirnya menggerakkan banyak pendemo melakukan aksinya,” terang Dr. Trubus.

Dirinya berpendapat bahwa masyarakat saat ini jauh lebih resisten terhadap isu intoleransi, radikalisme, hingga terorisme karena mereka lebih concern pada isu stabilitas ekonomi yang langsung dirasakan dampaknya.

Politik Identitas, khususnya yang memanfaatkan agama untuk penggiringan opini, nampaknya tidak mendapatkan panggung sebesar di tahun-tahun sebelumnya.

“Karena stabilitas menjadi utama di masyarakat kita, akhirnya isu tentang politik identitas itu tidak laku. Jadi berbeda dengan 2017 dulu ketika politik identitas masih sangat keras sekali, misalnya mewarnai para elit-elit dalam melakukan kampanye ataupun melakukan trik-trik yang memainkan isu SARA,” terang Dr. Trubus.

Menurutnya, pada Pilpres 2024 lalu telah terjadi perubahan paradigma masyarakat. Pandemi COVID juga telah mengubah pola perilaku masyarakat Indonesia untuk tidak lagi terkesan kepada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Nyatanya, bantuan sosial ketika pandemi dan vaksin COVID disediakan secara gratis oleh negara dan bukan oleh kelompok-kelompok radikal.

Baca Juga:  Menjaga Semangat Juang Pahlawan Melalui Pendidikan

Dr. Trubus juga menyebutkan bahwa politik identitas semakin ditinggalkan masyarakat, khususnya mereka yang masuk pada kategori usia muda atau yang biasa disebut dengan Gen-Z. Selain itu, partai-partai yang selama ini mengusung politik identitas pun mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya, karena masyarakat semakin melihat dari kebaikan apa yang dihasilkan partai tersebut, bukan semata-mata kesamaan dengan partai mana yang didukung.

“Akhir kata, narasi intoleransi dan radikalisme di Indonesia tidak bisa menggunakan kericuhan pembahasan RUU Pilkada lalu untuk ‘kendaraan’ yang akan mengantarkan mereka pada perubahan besar-besaran, seperti yang terjadi di Timur Tengah. Saya berharap agar masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu primordialisme dan sektarianisme, serta menjauhi anarkisme dalam menyatakan pendapatnya,” pungkas Dr. Trubus.