AMBON, Indotimes.co.id – DPRD Provinsi Maluku mempertanyakan data stunting milik Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ambon. Pasalnya, dari data yang dimiliki tersebut, total ada kurang lebih 13.122 anak dari 600 yang mengalami kasus gizi buruk.
Padahal, Kota Ambon ini punya lima kecamatan yakni Nusaniwe, Leitimur Selatan (Leitisel), Baguala, Sirimau dan Teluk Ambon. Sayangnya, data yang dimiliki itu tidak akurat dan tidak sinkron.
”Jika kita lihat, bahwa ternyata yang terlihat hanya yang terekspos saja. Tetapi masih banyak kasus stunting yang belum terekspos,” kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Maluku, Elviana Pattiasina saat dihubungi dari Ambon, Jumat (9/9).
Untuk mencegah stunting, kata dia, maka yang dibutuhkan adalah kebijakan anggaran, untuk bisa mengatasinya, bukan setelah adanya kasus stunting, barulah ramai-ramai turun lapangan untuk mengobatinya. Dan itu bagi Elviana, sudah terlambat.
Elviana menegaskan, Pemerintah baik Provinsi Maluku maupun kabupaten/kota harus berperan aktif, lantaran itu merupakan hak-hak dasar itu yang harus dijaga.
“Kenapa berbicara stunting baru gelontorkan anggaran. Saya bersama teman-teman di Komisi IV akan mendukung kebijakan anggaran untuk mencegah stunting, agar ke depannya tidak ada lagi data yang ternyata tidak sinkron, dengan fakta di lapangan,” tegas Pattiasina.
Dihubungi terpisah, Ketua Fraksi Pembangunan Bangsa DPRD Provinsi Maluku, Mumin Refra mengaku, kasus stunting atau masalah pertumbuhan pada anak, masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi saat ini.
Berdasarkan data Survey Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen (5,33 juta balita), atau turun 6,4 persen dari angka 30,8 persen pada tahun 2018
“Penyebab langsung terjadi stunting yaitu, asupan gizi yang kurang, kemudian masalah kesehatan ibu, dan pola asupan yang kurang baik. Utamanya adalah, asupan gizi yang kurang secara kronis dalam jangka waktu yang panjang,” ungkap Mumin.
Menurutnya, banyak faktor kekurangan dalam pengentasan stunting ini. Selain itu, lingkungan yang buruk, seperti rumah yang tidak layak huni, sanitasi air yang kurang baik, minimnya air bersih, dan jamban yang kurang layak dipakai.
“Persoalan stunting harus cepat diatasi secara serius, mengingat sekitar 2 hingga 3 persen dari pendapatan PDB “hilang” per tahunnya, akibat stunting. Hal ini disebabkan stunting juga beresiko menurunkan kualitas sumber daya manusia,” ujar dia.
Untuk itu, dia meminta Pemerintah Provinsi Maluku dan stakeholder pemangku kebijakan, untuk memiliki target-target dalam rangka menurunkan prevalensi sampai di tahun 2024.
“Yang tentu saja ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mencapainya. Disisi lain, pemerintah harus dapat menyusun rencana pencapaian setiap target, antara yang menjadi tanggungjawabnya, dan memastikan kecukupan dana, sarana, serta kapasitas implementasinya. Sehingga dapat diketahui perkembangan, capaian, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, yang kemudian kita bisa mengambil langkah berikutnya, untuk memastikan target prevalensi pada tahun 2024 bisa tercapai,” tandas Refra.