Serang, indotimes.co.id- Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy meminta Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Banten mewaspadai penyebaran paham radikalisme dan terorisme di media sosial. FKPT Banten perlu menggunakan pendekatan berbasis teknologi informasi dalam mengantisipasi dan mendeteksi infiltrasi gerakan radikal dan terorisme khususnya di media sosial.
“Selain itu, untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam mencari, memilah, dan mengaplikasikan sumber informasi di media sosial merupakan suatu kebutuhan mendasar di era digital saat ini,” kata Andika dalam sambutannya saat membuka Rapat Kerja FKPT Banten di Hotel Horison Ultima Ratu, Jl. Abdul Hadi No. 66 Kota Serang (Selasa, 25/5/2021).
Dikatakan, mewaspadai penyebaran terorisme dan radikalisme di media sosial sangat beralasan. Hal itu mengingat potensi pengguna internet dari tahun ke tahun terus meningkat.
Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2020, Andika menunjukkan, bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 196,7 juta pengguna atau 73,7 persen dari total penduduk Indonesia. Sedangkan di Banten, data APJII menunjukkan pengguna internet telah mencapai 64 persen dari total penduduk atau sekurangnya mencapai 7 juta pengguna internet.
“Untuk itu diperlukan program literasi digital daerah untuk membentuk pengetahuan dan pemahaman masyarakat untuk menjadi lebih kritis terhadap informasi yang terdapat di media sosial,” imbuhnya.
Masyarakat yang melek informasi di media sosial, menurut Andika, akan menjadi lebih kritis ketika mendapati informasi negatif, terkait dengan infiltrasi radikal dan juga hoax.
Terkait itu, Andika meminta FKPT Banten bisa bekerjasama dengan Dinas Komunikasi dan Informatika, baik di Pemprov Banten maupun di Kabupaten/Kota guna melakukan pelatihan dan edukasi publik untuk menjadikan literasi digital sebagai salah satu medium dalam pencegahan paham radikal dan terorisme.
Senada dengan Andika, Ketua FKPT Banten Amas Tadjuddin mengatakan, kaum milenial melalui media sosial menjadi sasaran utama radikalisasi karena mereka sangat sensitif terhadap nilai keagamaan. Menurut Amas, hal itu disebabkan wawasan pengetahuan dan penghayatan terhadap nilai-nilai hidup masih dalam fase pertumbuhan menuju pematangan, sehingga rentan untuk digiring dalam konteks memperjuangkan sistem pemerintahan yang berdasarkan agama. (msa)