Gelar Gerakan Kebudayaan di Sidang Ahok, Chavchay Syaifullah: Penistaan Al Quran berpotensi Hancurkan Keanekaragaman
Ketua Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Chavchay Syaifullah

JAKARTA, Indotimes.co.id – Aksi para demonstran dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terlihat berwarna dengan penampilan para seniman dari kubu ormas Islam penentang Ahok yang menggelar aksi di luar sidang. Mereka menampilkan pertunjukan teater “Sekuntum Penjara untuk Ahok” pada sidang ke tiga (10/1/2017), dan pada sidang ke empat Ahok (17/1/2017) seniman mempertunjukan aksi seni rupa “Melukis Negeri Tanpa Penistaan Agama”, sedangkan pada sidang ke lima (24/1/2017) para seniman menggelar pertunjukan dan pameran puisi “Puisi Meruwat Negeri”.

Sebagai penyelenggara gelaran seni tersebut adalah Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi). Berikut wawancara dengan ketua departemen, Chavchay Syaifullah, tentang gelaran ini. Sastrawan yang sudah menghasilkan puluhan novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi ini juga memberikan pandangan-pandangannya tentang keadaan kebudayaan generasi muda muslim Indonesia.

Di tiga aksi mengawal sidang Ahok, Departemen Seni dan Budaya Parmusi menampilkan karya-karya seni. Apa sesungguhnya konsep yang ditawarkan?

Kami melihat gerakan sosial hari ini, yang menuntut penista agama (Ahok-red) itu segera ditahan, perlu pendekatan baru yang berasaskan gerakan kebudayaan. Maksudnya, kami mengajak masyarakat untuk melihat kasus ini sebagai suatu tragedi kemanusiaan, sebagai pelanggaran asasi terhadap semangat keberagaman dan kerukunan, padahal itu adalah sebuah keniscayaan bagi kemanusiaan.

Semangat kemanusiaan ada pada persaudaraan. Persaudaraan yang dilanggar dengan menistakan Al-Qur’an berpotensi menghancurkan semangat keanekaragaman. Apalagi yang dinistakan adalah sebuah kitab suci, pedoman jutaan orang. Gerakan kebudayaan mengajak manusia melihat kembali secara dasariah cara menjadi manusia. Lewat teater, seni rupa, dan puisi, kami ingin menyadarkan masyarakat bahwa penistaan tak boleh diulangi, sekaligus sebagai penyampai kabar kepada generasi yang akan datang dengan cara-cara yang baik, beradab, dan penuh keindahan.

Kami memahami bahwa Tuhan itu Indah dan Dia Mencintai Keindahan. Gerakan kesenian ini menawarkan kepada bangsa Indonesia bahwa Islam bukan hanya agama mayoritas di negeri ini yang mencintai perdamaian, tetapi juga keindahan. Aksi 212 adalah aksi yang penuh dengan kedamaian.

Baca Juga:  Gubernur WH : Selain Pelarangan Mudik, Aktivitas Sesudah Lebaran Harus Diantisipasi

Ada banyak seniman yang terlibat di sini. Berapa lama persiapan untuk masing-masing aksi?

Seniman-seniman yang terlibat adalah para profesional sebanyak kira-kira 50 orang. Dramawan datang dari Taman Ismail Marzuki, perupa datang dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Yogyakarta, sehingga persiapan tidak menjadi sesuatu yang penting. Hal terpenting adalah ruhnya. Kita berjihad melalui jalur kebudayaan. Ruh itu memberi kemudahan bagi kita dalam berkarya. Semua yang kami hasilkan adalah refleksi dari pengalaman berbulan-bulan yang diendapkan di kepala, dituangkan di tenda ini [Parmusi mendirikan tenda/posko di setiap aksi mengawal sidang Ahok-red], di jalan ini.

Apa tanggapan massa aksi lain terhadap gerakan Anda?

Mereka sangat mengapresiasi. Aksi selama ini penuh dengan orasi, sehingga kami seakan-akan menjadi oase yang menyegarkan Massa senang ketika kami tawarkan untuk dilukis gratis [Chavchay menunjuk seorang seniman berambut gondrong, bertopi koboi, dan berkacamata, yang tengah melukis sketsa wajah seorang peserta aksi –red]. Mereka juga menulis puisinya di kertas yang kami sediakan.

Apa gagasan Anda ke depan mengenai gerakan kebudayaan ini?

Kami berharap seniman-seniman muslim bersatu. Di tahun 20-an, 40-an, dan 60-an, mereka menunjukkan persatuannya. Alhamdulillah, mereka mampu turut serta mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Sastrawan muslim seperti Muhammad Yamin merumuskan Sumpah Pemuda di tahun 20-an. Di tahun 40-an, seniman dan pemikir besar bersatu merumuskan gagasan tentang negara. Di tahun 60-an pun sama. Kita tadi menyaksikan tokoh angkatan 66, Taufiq Ismail [Taufiq Ismail membaca puisi di aksi kawal sidang Ahok di hari yang sama-red]. Saat itu, terdapat Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) yang bersatu untuk memberi warna lain di dalam sebuah proses politik besar.

Baca Juga:  HMI: Mahasiswa Menjadi Tonggak Awal Cegah Intoleransi Beragama

Gerakan kebudayaan harus dimunculkan oleh seniman sendiri, sehingga tidak menjadi sekedar instrumen yang dimanfaatkan sekelompok orang sebagai kendaraan bagi kepentingannya. Untuk menghindari itu, seniman dan budayawan harus mampu menunjukkan kepedulian dan keberpihakan di dalam sejarah hidupnya. Jangan sampai seniman dimengerti sebagai kelompok elit yang tidur dan berkarya di menara gading.

Bagaimana pandangan Anda terhadap produk-produk budaya generasi muslim sekarang?

Generasi muslim hari ini menunjukkan peningkatan kuantitas. Selain organisasi Islam lama yang tetap ada, banyak bermunculan organisasi baru dan ad hoc. Namun, kita belum mendapatkan suatu khazanah baru berupa karya dan pemikiran dari kelompok muda. Saya sangat berharap mereka hadir mengisi ruang-ruang itu. Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, misalnya, adalah pionir kepemudaan yang memberi warna penting bagi proses transisi kekuasaan. Pelaku transisi memang kalangan elit, namun yang memiliki daya tekan dan menentukan arah transisi adalah kalangan muda.

Momentum 411 dan 212 digerakkan oleh ulama, dan menjadi tantangan sendiri bagi kaum muda. Ulama yang seharusnya berada di maqom (tempat) khusus mengajarkan ilmu-ilmu agama, sampai bergerak turun ke jalan untuk menyampaikan pandangan, protes, dan karyanya. Saya rasa, salah satu karya besar para ulama adalah aksi damai. Aksi ini susah dijelaskan secara elementer: bagaimana suatu gerakan sebesar itu berjalan dengan damai? Anak muda harus terinspirasi dari gerakan ini untuk melakukan revitalisasi gerakan-gerakan ulama. Jangan berkutat di kampus melulu, tetapi mulai berpikir dengan mata terbuka, yakni melihat teori secara langsung di lapangan.

Bagaimana dengan saluran-saluran kebudayaan di dunia maya, seperti jejaring sosial dan Youtube?

Kreativitas yang bertemu teknologi banyak menghasilkan masyarakat gagap, sehingga kemajuan teknologi bukan menjadi niscaaya, namun malah halangan, bagi perkembangan kebudayaan. Ketika hari ini menemukan generasi muda muslim yang menggunakan saluran siber untuk menyampaikan dakwahnya, kita patut memberikan apresiasi.

Baca Juga:  SBY: Info Intelejen Harus Akurat, Jangan Curigai Pertemuan Politik Non Kekuasaan

Kita sedang berada dalam revolusi tiga dimensi, sebuah proses sosial yang begitu cepat melibatkan manusia di dalam ruang dan waktu yang hampir bersamaan. Ketiganya adalah kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi. Ketiganya memberi dampak besar bagi kebudayaan manusia hari ini. Kita harus berada dalam posisi aktor, yang terlibat langsung di dalam revolusi ini. Kalau gamang, kita akan kehilangan jati diri dan muruah. Sebaliknya, jika adaptif terhadap perubahan ini, kita akan banyak memberi manfaat.

Bagaiamana dengan capaian estetika? Apa pesan Anda kepada kalangan yang lebih muda?

Setiap berbicara kesenian, kita memang sedang berbicara tentang estetika atau filsafat keindahan. Untuk memperoleh capaian estetis di setiap karya, ada banyak tahap yang harus ditempuh. Seseorang yang ingin menjadi manusia kreatif dituntut untuk bersabar. Hal ini sekaligus menjadi pembeda antara seniman yang menghayati agama dan yang tidak menghayati. Kesabaran, bagi saya, merupakan bagian dari ibadah. Ia harus berpadu di dalam proses berkarya.

Jika baru berkarya satu lagu langsung ingin disanjung sebagai musisi hebat, atau menghasilkan satu lukisan langsung ingin disanjung sebagai pelukis hebat, dengan mempromosikan karya tersebut di media sosial, dia mungkin akan berbangga hati padahal karyanya belum mencapai mutu apa-apa. Ini cerminan seniman muda yang tidak sabar. Ia justru tidak masuk ke dalam jantung seni itu sendiri, karena jantung seni terdapat pada proses, bukan hasilnya.

Saat ingin berbicara tentang ketidakadilan, ia harus masuk ke dalam penderitaan masyarakat. Kalau selalu menggunakan mata elang, melihat dari kejauhan, dia akan kehilangan ruh dan perasaan sakitnya ketidakadilan. Pada titik tertentu, dia akan kehilangan estetikanya.

Hal itu pula yang menjadi proses kreatif Anda?

Ya, kira-kira begitu. [Sambil tertawa kecil-red]