JAKARTA, Indotimes.co.id – Guru besar hukum Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Faisal Santiago memastikan, akan menjadi preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan Indonesia, jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
“Sebagai negara hukum sudah ada saluran hukumnya, yaitu judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). Bukan sebentar-sebentar ada demo terus dibuat Perppu,” kata Santiago saat diwawancara wartawan, Minggu (6/10/2019).
Menurut Santiago, Perppu dapat dikeluarkan jika memenuhi sejumlah persyaratan, diantaranya apabila negara dalam keadaan genting atau adanya kekosongan hukum maka presiden sebagai kepala negara bisa mengeluarkan Perppu
Akan tetapi, terang Santiago, kondisi seperti yang disebutkan itu tidaklah ada saat ini. Sehingga presiden tidak perlu mengeluarkan Perppu.
Dia mengatakan, melakukan amandemen atau revisi UU adalah hal yang biasa bagi Indonesia yang merupakan negara hukum, guna melakukan perbaikan-perbaikan agar menjadi lebih baik.
“Sudah selayaknya UU KPK direvisi karena sudah tidak relevan lagi antara kondisi tahun 2002 dan 2019,” tandasnya.
Dia menyarankan agar presiden tidak mengeluarkan Perppu atas hasil revisi UU KPK, dan mengimbau para pihak yang tidak nyaman dengan UU KPK supaya melakukan judicial review ke MK.
Lembaga yudikatif itu, lanjut Santiago, baru dapat menerima uji materi UU KPK terhadap UUD NRI Tahun 1945, setelah undang-undang tersebut masuk Lembaran Negara.
“Jadi ada mekanismenya. Itulah gambaran kita sebagai negara hukum,” pungkas Santiago.