JAKARTA, Indotimes.co.id – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, menjadi salah satu kuasa hukum dari Desrizal, pengacara yang memukul hakim, di PN Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Hamdan, sebelumnya juga dikenal sebagai hakim MK. Lalu apa yang membuatnya mau membela kasus pidana pengacara yang memukul hakim?
“Alasannya saya advokat. Sudah kenal lama dengan Desrizal. Dia diminta tolong, saya nggak enak nolak. Kedua, kasus ini menurut saya menarik. Ini ingin saya dalami, dan bisa jadi pelajaran bagi semua pihak,” ujar Hamdan, di Jakarta, Selasa (7/10/2019).
Menurutnya, dia yang pernah jadi hakim, mempertanyakan kenapa bisa terjadi. Adapun kasus pemukulan, dia juga tidak membenarkan.
“Dan tentu tidak bisa dibenarkan. Itu pasti. Saya ingin masyarakat semua tahu, background kasus itu,” beber Hamdan.
Saat ditanya kenapa kliennya memukul Hakim? Hamdan mengatakan, berdasarkan penuturan Desrizal, itu dilakukan spontan.
“Desrizal merasa hakim memutus perkara itu bertentangan dengan bukti-buktu dan fakta persidangan. Yang kasat mata, materi kasus sama, yang sebelumnya di ajukan di PN Jakpus dalam sidang perdata dikabulkan gugatannya. Bahkan sudah keputusan tetap. Sedangkan Multicor yang ditangani Desrizal ditolak. Sebagai pengacara dia paham betul ini tidak akan kalah. Karena itu saat kasusnya ditolak, dia spontan melakukan itu,” kata Hamdan.
Dia berharap sidang berlangsung jujur, arif dan bijaksana. Dan hakim bisa memahami bagaimana kasus ini bisa terjadi.
“Kami mohon kasus ini jadi perhatian MA dan kepada KY melihat kasus ini dari bacgroundnya. Kami tentu tidak melakukan penuntutan,” jelas Hamdan.
Dia menegaskan, menjadi pengacara Desrizal untuk kasus pidana. Kalau yang perdata, yang ditangani Desrizal masih ditangani kuasa hukum yang lain, untuk kasus perdatanya.
“Mereka tentu masih melakukan upaya hukum lainnya, seperti banding. Kalau kami hanya menangani kasus pidananya,” pungkasnya.
Selain Hamdan Zoelva, tim penasehat hukum lainnya yaitu, Januardi S. Haribowo, Atmajaya Salim, dan Tasman Gultom.
Sebelumnya, Insiden pemukulan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perdata yang melibatkan pengacara Desrizal, SH dipicu oleh akumulasi kekecewaan pengacara Tomy Winata itu terhadap Majelis Hakim, karena memutus perkara bertentangan dengan bukti-bukti otentik dalam persidangan.
Peristiwa itu terjadi pada 18 Juli 2019, saat Majelis Hakim Perkara No. 223/2018 membacakan putusan yang menolak gugatan wan prestasi yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP).
Kasus utang piutang itu sendiri berawal ketika GWP berencana membangun Hotel Kuta Paradiso di Bali, dengan meminjam uang dari tujuh bank, yaitu : PT. Bank PDFCI sebesar USD 5,000,000 (lima juta Dollar Amerika Serikat), PT. Bank Rama, PT. Bank Dharmala, PT. Bank Indonesian Investments International, PT. Bank Finconesia, PT. Bank Arta Niaga Kencana dan PT. Bank Multicor masing-masing sebesar USD 2,000,000 (dua juta Dollar Amerika Serikat). Pinjaman tersebut dituangkan dalam Akta Perjanjian Pemberian Kredit No. 8 Tanggal 28 November 1995.
Ketika terjadi krisis moneter 1998, Bank Indonesia menyerahkan PT. Bank PDFCI, PT. Bank Rama, dan PT. Bank Dharmala kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN kemudian mengambilalih piutang yang dimiliki ketiga bank tersebut terhadap GWP.
Keempat bank lainnya, yaitu PT. Bank Indonesian Investments International, PT. Bank Finconesia, PT. Bank Arta Niaga Kencana dan PT. Bank Multicor dinyatakan sehat, sehingga hak tagihnya tidak beralih ke BPPN. Antara BPPN dengan keempat bank ini, kemudian membuat Kesepakatan Bersama yang mengatur pemberian wewenang dari bank-bank tersebut kepada BPPN, terbatas untuk mengurus penyelesaian piutang dengan cara melakukan penagihan. Meskipun BPPN telah menerbitkan Surat Peringatan dan Surat Paksa, PT. GWP tidak pernah membayar hutangnya
BPPN mengalihkan piutang yang semula dimiliki oleh PT. Bank PDFCI, PT. Bank Rama dan PT. Bank Dharmala kepada PT. Millenium Atlantic Securities (PT MAS). PT MAS kemudian mengalihkan ketiga piutang tersebut kepada Fireworks Ventures Limited.
Pada perkembangannya, piutang-piutang dari keempat bank tersebut ahirnya dialihkan/ dijual hak tagihnya secara langsung kepada masing-masing: PT. Bank Indonesian Investments International kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Dan Lelang Negara Jakarta IV, PT. Bank Finconesia kepada Alfort Capital Limited, PT. Bank Arta Niaga Kencana kepada Gaston Invesments Limited, dan PT. Bank Multicor kepada Tomy Winata.
Anehnya, Kesepakatan Bersama itu disimpulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bukti bahwa seolah-olah keempat bank itu telah mengalihkan hak tagihnya kepada BPPN, dan kemudian BPPN mengalihkan seluruh piutang terhadap PT. GWP kepada PT. Millenium Atlantic Securities (PT. MAS), sehingga gugatan wan prestasi yang dilayangkan Tomy Winata terhadap GWP ditolak. Padahal di dalam Kesepakatan Bersama itu, sama sekali tidak terdapat kata alih, pengalihan atau mengalihkan, jual atau menjual.
Namun faktanya, di dalam putusan, Majelis Hakim mengubah penagihan menjadi pengalihan, dan mengabaikan dua bukti penting berupa putusan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap yang merupakan Produk dari Pengadilan negeri Jakarta Pusat sendiri terkait permasalahan pemberian kredit berdasarkan Akta Perjanjian Pemberi Kredit No. 8 Tanggal 28 November 1995, yaitu dimenangkannya gugatan PT. Bank Agris (d/h PT. Bank Finconesia), dan dinyatakannya GWP wan prestasi dan dihukum membayar kerugian materiil kepada PT. Bank Agris sebesar USD 20,389,661.26 (dua puluh juta tiga ratus delapan puluh sembilan ribu enam ratus enam puluh satu Dollar Amerika Serikat dua puluh enam sen), dan putusan gugatan Gaston Invesments Limited yang menyatakan bahwa GWP dan para penjamin hutangnya wan prestasi, dan menghukum untuk membayar hutang, berikut bunga, dan denda kepada Gaston Invesments Limited sebesar USD 20,389,661,26 (dua puluh juta tiga ratus delapan puluh sembilan ribu enam ratus enam puluh satu dollar Amerika dua puluh enam sen). Gaston Invesments Limited merupakan pemegang piutang yang berasal dari PT. Bank Artha Niaga Kencana.
Jadi dengan mendasarkan kepada Akta Perjanjian Pemberian Kredit tersebut ada 2 gugatan yang telah dikabulkan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, sementara gugatan yang diajukan oleh Tomy Winata belakangan atas hal yang sama dengan dua putusan itu ditolak oleh pengadilan yang sama.
Bukti-bukti dalam persidangan inilah yang diabaikan dan tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang membuat Desrizal, SH merasa dizhalimi sehingga berujung pada insiden pemukulan. (ANP)