JAKARTA, Indotimess.co.id – Penolakan pendirian sekolah kristen oleh sekelompok masyarakat muslim di Parepare, Sulawesi Selatan, yang terjadi belakangan ini, dianggap mencederai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak hanya itu, tiap warga negara Indonesia seharusnya bebas mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama yang telah diakui, selama memenuhi persyaratan administratif yang berlaku.
Plh. Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Siti Kholisoh, menjelaskan bahwa peristiwa ini adalah tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas orang Indonesia.
“Jika dilihat dari aspek konstitusi, setiap warga negara di Indonesia, mau latar belakang apapun, agamanya, sukunya, etnis, warna kulitnya, ataupun bahasanya, mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. Prinsipnya, tidak dibenarkan jika ada pihak yang menghalang-halangi pihak lainnya untuk mendapatkan akses pendidikan, termasuk yang berbasis keagamaan,” terang Siti Kholisah di Jakarta, Kamis (26/9).
Selain itu, Alumnus UIN Walisongo Semarang ini menerangkan bahwa terkait dengan izin mendirikan pendirian sekolah keagamaan, Pemerintah Indonesia telah memiliki banyak regulasi dalam sistem pendidikan nasional yang juga meliputi lembaga pendidikan berbasis keagamaan.
Menurut SIti, dalam regulasi sistem pendidikan nasional telah ditegaskan, bahwa sekolah keagamaan sebagai bagian dari sekolah swasta, juga berhak untuk didirikan jika telah memenuhi izin yang disyaratkan. Artinya, penolakan pendirian sekolah kristen di Parepare, Sulawesi Selatan oleh sebagian masyarakat itu adalah penolakan yang tidak berdasar secara hukum.
“Tentu penolakan ini tidak sesuai dengan konstitusi dan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Terlebih lagi, perlu diingat juga bahwa di Indonesia ini merupakan negara yang berdemokrasi. Setiap hak warga negara itu dilindungi, dan Pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib memberikan fasilitas serta memastikan setiap warga negaranya mendapatkan hak untuk beragama, termasuk mendapatkan hak pendidikan keagamaan,” tambah jebolan Magister Hukum Universitas Indonesia ini.
Siti juga menyoroti gagalnya sebagian kelompok masyarakat dalam memahami esensi ajaran agama itu sendiri. Ajaran agama yang sejatinya membawa kemanfaatan bagi seluruh makhluk hidup, apapun latar belakangnya, malah menjadi alat untuk melakukan persekusi dan seolah melegitimasi tindak kekerasan pada kelompok lain yang dianggap sebagai lawan.
“Salah satu problemnya adalah ada sekelompok manusia yang kemudian tidak dapat memahami secara tepat esensi dari ajaran agama, yang seharusnya justru membawa kemanfaatan dan kedamaian bagi setiap umat manusia di dunia ini. Bagi saya, orang-orang yang menggunakan kekerasan dan memaksakan simbol agama mereka terhadap kelompok yang berbeda dengannya, sebenarnya adalah orang-orang yang perlu kita kasihani,” ungkapnya.
Orang-orang yang cenderung intoleran, menurut Siti, menjadi seperti itu karena tidak memiliki informasi yang luas, beragam, dan kaya dalam menyikapi perbedaan dalam hidup bermasyarakat. Seandainya setiap orang memiliki informasi yang mencukupi, mereka akan lebih terbuka terhadap perbedaan dan lebih toleran dibandingkan sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan memelihara semangat pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Siti menjelaskan ini merupakan tanggung jawab bersama. Segala kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk memajukan pluralisme, yang pada akhirnya menekan potensi konflik horizontal, perlu mendapat dukungan dari masyarakat.
“Biar bagaimanapun, masalah-masalah keagamaan saat ini itu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah secara utuh, tetapi juga masyarakatnya perlu kooperatif dengan mendukung kebijakan, regulasi atau program yang memperkuat dialog antar agama atau keyakinan. Ini semua dilakukan demi mempromosikan nilai-nilai keagamaan yang moderat dan sesuai dengan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Siti.
Siti berharap agar masyarakat Indonesia meningkatkan minat bacanya. Media digital telah menjadi bagian fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan tidak terhindarkan. Meningkatnya minat baca dan literasi masyarakat dengan sendirinya akan menjadi solusi bagi intoleransi yang terjadi di tatanan grass root.
“Berbagai area pendidikan informal juga perlu terus menyuarakan dan memberikan edukasi kepada masyarakat, tentang bagaimana cara menggunakan media sosial secara bijak. Selain itu, berikan alternatif upaya-upaya konkret pada masyarakat luas untuk memanfaatkan media digital secara bijak dan produktif,” pungkas Siti.