DEPOK, Indotimes.co.id – Departemen Kriminologi Universitas Indonesia mempublikasikan sebuah kajian komprehensif mengenai pola kejahatan yang terjadi di Indonesia selama tahun 2024.
Ketua Departemen Kriminologi UI, Dr. Iqrak Sulhin, di Gedung Mochtar Riady, Kampus FISIP UI, Depok, Senin (30/12), menyatakan bahwa kajian ini didasarkan pada analisis terhadap 631 artikel berita kejahatan dari media daring. Laporan ini memberikan gambaran rinci mengenai tren kejahatan, profil pelaku dan korban, serta dinamika situasional yang menyertainya.
Dr. Mohammad Irvan Olii, sebagai koordinator kajian tentang pola kejahatan, menjelaskan bahwa tahun 2024 menunjukkan tingginya proporsi kejahatan terhadap nyawa yang mencapai 31,4%, diikuti oleh kejahatan terhadap fisik atau badan sebesar 28,2%.
Kejahatan terkait harta benda dengan kekerasan tercatat sebesar 13%, sementara kejahatan tanpa kekerasan mencapai 12,2%. Data ini mengindikasikan bahwa kekerasan masih menjadi elemen utama dalam berbagai tindak kejahatan.
Profil pelaku kejahatan menunjukkan bahwa mayoritas pelaku adalah laki-laki (88,3%), dengan sebaran usia yang didominasi kelompok usia produktif (65%). Namun, terdapat juga pelaku yang berusia anak-anak sebesar 14,7%, sementara pelaku di atas usia produktif hanya mencapai 2%.
Dari segi tingkat pendidikan, sebagian besar pelaku berasal dari pendidikan menengah ke bawah. Informasi mengenai pekerjaan pelaku sering kali tidak diungkapkan dalam pemberitaan, tetapi data yang tersedia menunjukkan bahwa 15,1% pelaku tidak bekerja, 11,6% adalah pelajar, dan 7,6% memiliki pekerjaan tetap.
Korban kejahatan juga mayoritas adalah laki-laki (57,4%), dengan usia produktif mendominasi pada angka 55,8%.
Menariknya, korban berusia anak-anak mencapai 21,9%. Dari segi pendidikan, korban yang diberitakan umumnya memiliki tingkat pendidikan menengah ke bawah sebesar 18,2%. Data pekerjaan korban mengungkapkan bahwa 20,8% memiliki pekerjaan tetap, 20,6% adalah pelajar, dan 19,3% tidak bekerja.
Kejahatan paling sering terjadi pada malam hingga dini hari, yaitu antara pukul 18.00 hingga 06.00. Lokasi utama kejahatan adalah jalan umum (33,9%), rumah (19,5%), dan lingkungan permukiman (15,5%).
Sebagian besar kejadian tidak melibatkan senjata, tetapi penggunaan tangan kosong dilaporkan sebanyak 52%, diikuti oleh benda tajam sebesar 25,7%. Sebanyak 71,5% dari peristiwa kejahatan dilakukan secara berkelompok, menunjukkan pola dinamika kejahatan kolektif.
Faktor situasional juga memainkan peran penting dalam terjadinya kejahatan. Kurangnya penerangan jalan menjadi salah satu pemicu utama yang dilaporkan pada 25,8% kasus, sementara dendam atau rasa sakit hati dilaporkan sebagai motivasi dalam 23,3% kasus. Hubungan antara pelaku dan korban hampir seimbang, dengan 47,7% di antaranya saling mengenal dan 48% tidak saling kenal.
Kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi strategis untuk pihak kepolisian, termasuk pemanfaatan analisis data untuk mendeteksi pola kejahatan, pengembangan patroli di lokasi rawan, serta kolaborasi dengan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan keamanan.
Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap pola kejahatan, diharapkan langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif dapat diterapkan demi menciptakan lingkungan yang lebih aman di masa depan.
Reaksi Publik Terhadap Kepolisian – civil oversight.
Sementara itu, Dr. Anggi Aulina Harahap, menjelaskan bahwa dari 56 kasus kejahatan yang viral di media sosial dan kanal berita daring, sebanyak 41 kasus mendapatkan reaksi positif dari masyarakat. Hal ini menunjukkan penghargaan publik terhadap perhatian cepat kepolisian dan proses hukum yang dilakukan secara segera.
Capaian ini menjadi indikator positif bahwa kepolisian mampu memperoleh dukungan publik melalui langkah-langkah penanganan yang responsif dan akuntabel.
Namun, terdapat 15 kasus kejahatan yang viral yang memperoleh reaksi negatif dari masyarakat. Reaksi negatif ini mencakup enam kategori utama yang berhubungan dengan pelaku kejahatan, tindak kejahatan, serta keadilan terkait vonis hukuman.
Kritik tersebut menunjukkan adanya ruang perbaikan dalam strategi operasi, perilaku individu petugas, dan proses penegakan hukum secara keseluruhan.
Membangun Kepercayaan dan Kepercayaan Diri Publik
Kepercayaan (trust) dan kepercayaan diri (confidence) terhadap kepolisian merupakan syarat utama untuk menjalankan pemolisian demokratis secara efektif.
Melalui transparansi dalam setiap tindakan dan akuntabilitas dalam proses hukum, kepolisian dapat memperkuat hubungan positif dengan masyarakat. Hal ini selaras dengan konsep effective policing sebagaimana dijelaskan oleh Plant & Scott (2018), di mana hubungan yang baik antara kepolisian dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan penegakan hukum.
Perbandingan reaksi positif yang mencapai 41 kasus dibandingkan reaksi negatif sebanyak 15 kasus menunjukkan bahwa kepolisian memiliki potensi besar untuk mencapai pemolisian yang efektif.
Dengan terus meningkatkan profesionalisme, melibatkan masyarakat dalam proses penegakan hukum, dan menjaga transparansi, kepolisian dapat memastikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi mereka tetap terjaga.
Masyarakat adalah sumber otoritas kepolisian. Oleh karena itu, kepercayaan dan dukungan publik harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan dan tindakan kepolisian.
Melalui pemolisian yang demokratis, transparan, dan akuntabel, kepolisian tidak hanya dapat menjawab tantangan, tetapi juga meningkatkan legitimasi mereka di mata masyarakat