MAKASSAR, Indotimes.co.id – Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, perayaan Idul Fitri 1445 Hijriah juga diwarnai oleh berbagai tradisi budaya dan kearifan lokal yang semakin merekatkan hubungan antar masyarakat. Nilai serta adat istiadat yang juga ikut dilaksanakan tentu tidak ada salahnya selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Mengulas tentang pentingnya peranan nilai dan kearifan lokal dalam syiar Islam di Indonesia, Sekretaris Umum pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Prof. Dr. H. Muammar Bakry, menjelaskan bahwa perayaan Idul Fitri di berbagai daerah biasanya dipadukan dengan kebiasaan masyarakatnya. Menurutnya, hal ini justru bisa menguatkan semangat toleransi antar golongan masyarakat Indonesia.
“Kita patut bersyukur karena menjadi orang Islam yang tinggal di Indonesia, atau orang Indonesia yang muslim. Memeluk Islam di negara lain belum tentu bisa senyaman di Indonesia. Selain itu, rasa syukur menjadi orang Indonesia ini ada karena umat muslimnya difasilitasi dengan adanya nilai-nilai kebaikan setempat, atau yang kita kenal juga dengan istilah local wisdom,” ujar Prof Muammar Bakry di Makassar, Rabu (17/4).
Guru Besar UIN Alauddin Makassar ini menerangkan, dalam Alquran kearifan lokal dikenal dengan istilah ma’ruf. Penggunaan istilah ma’ruf sendiri merujuk pada segala nilai kebaikan, baik yang muncul dari ajaran agama, ataupun yang memang berasal dari masyarakat yang menjalankannya.
Ia berujar, selama nilai-nilai kearifan lokal yang dilakukan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka esensi kebaikan didalamnya perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai bentuk kekayaan budaya umat Islam di Indonesia.
Imam Besar Masjid Al Markaz juga membahas tentang kearifan lokal di masa Idul Fitri seperti lebaran ketupat yang biasanya dilakukan beberapa hari pasca lebaran 1 Syawal.
Kebiasaan masyarakat seperti ini menurutnya adalah hal yang positif, karena bisa meningkatkan kerukunan masyarakat dan menunjukkan keterkaitan yang kuat antara Idul Fitri dan semangat kebangsaan Indonesia.
“Terdapat relevansi yang sangat terasa, antara perayaan Idul Fitri dengan semangat kebangsaan, serta kebersamaan orang Indonesia. Kenapa? Karena salah satu makna Idul Fitri itu adalah kembali ke fitrah. Fitrahnya kita ini kan diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itulah kenapa pada hari lebaran, orang kangen untuk pulang kampung, karena fitrahnya manusia adalah sebagai orang kampung, yang punya tanah air dan bangsanya sendiri,” tambah Prof. Muammar Bakry.
Akademisi yang aktif menyoroti isu toleransi dan moderasi beragama ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia yang dibentuk dari banyak suku yang berbeda pasti memiliki naluri kesukuannya masing-masing dan sulit untuk dipisahkan.
Rasa memiliki suku dan bangsa yang kuat, dibarengi dengan fitrahnya sebagai manusia, membuat banyak orang rindu dengan kampung halamannya pada hari raya Idulfitri.
Inilah, lanjutnya, yang membuat banyak orang ramai mudik atau pulang kampung. Semangat mudik ini sebenarnya juga menunjukkan cinta bangsa dan tanah air yang selalu bisa disaksikan saat Idul Fitri.
“Perayaan Idul Fitri juga memiliki arti iftar atau futur, yang artinya makan pagi atau sarapan. Kalau diartikan seperti itu, maka Idul Fitri artinya kembali makan pagi atau sarapan, setelah sebulan sebelumnya diwajibkan untuk berpuasa. Makanya, di hari lebaran atau Idul Fitri, haram hukumnya orang berpuasa,” ungkap Prof. Muammar Bakry.
Ia lantas menguraikan kewajiban zakat fitrah setelah berpuasa. Menurutnya, zakat fitrah adalah makanan pokok yang harus dikeluarkan atau dizakati. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pada hari lebaran Idul Fitri, semua orang menikmati makanan pokok.
“Hanya saja jika dihidangkan dalam bentuk nasi kan itu sudah biasa kita saksikan sehari-hari. Makanya dikemas dalam bentuk ketupat, yang sebenarnya juga merupakan budaya atau kearifan lokal masyarakat Indonesia. Maka dari itu, sangat wajar jika hari Idulfitri diasosiasikan dengan lebaran ketupat,” imbuh Prof. Muammar Bakry.
Dirinya mengatakan, dengan zakat fitrah yang dikeluarkan masing-masing umat Islam sebelum tanggal 1 Syawal, tidak ada orang yang tidak makan nasi atau beras yang dikemas dalam bentuk ketupat saat hari raya tiba.
Selain kembali bisa menikmati makanan pokok orang Indonesia dalam bentuk ketupat, ada nilai kebersamaan yang tersirat didalamnya. Saat Idul Fitri, tidak ada bedanya orang yang kaya dengan orang yang miskin, karena semuanya sama-sama menikmati makanan yang serupa, yakni ketupat.
Prof. Muammar Bakry pun menambahkan, bahwa lebaran ketupat adalah salah satu contoh Islam yang dibudayakan. Sebenarnya budaya ini juga merupakan serapan dari syiar Islam, bahwa ada puasa Syawal selama enam hari setelah perayaan Idul Fitri. Waktu enam hari yang sebenarnya dari puasa Syawal ini kemudian bercampur dengan kebiasaan masyarakat yang senang berkumpul dan makan-makan, jadilah budaya lebaran ketupat.
“Jika setelah lebaran ketupat lalu ada yang ingin melaksanakan puasa Syawal, itu silahkan saja. Yang jelas, memahami nilai-nilai agama tidak boleh secara sempit dan selalu menganggap bahwa budaya pasti berseberangan dengan syariat. Ini tidak boleh terjadi,” pungkas Prof. Muammar Bakry.