JAKARTA, Indotimes.co.id – Sidang pidana dugaan penggelapan bahan bakar minyak (BBM) dengan 17 orang terdakwa dari karyawan PT Meratus Line dan PT Bahana Line kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya.
Sejumlah saksi dihadirkan dalam persidangan tersebut, diantaranya Direktur Utama PT Meratus Line Slamet Raharjo dan Feni yang menjabat auditor internal PT Meratus Line.
Dalam persidangan itu, Ketua Majelis Hakim Sutrisno berapa kali memberikan peringatan pada saksi Slamet Raharjo agar tidak melebarkan keterangannya ke ranah perdata.
“Ini kan urusan antar oknum karyawan dan proses antar perusahaan kan tidak ada masalah. Jadi fokus pada dakwaan jangan melebar. Jangan juga masuk ke ranah perdata,” kata Sutrisno memperingatkan saksi Slamet Raharjo, pada Senin malam (16/1).
Dalam keterangannya sebagai saksi, Slamet Raharjo menerangkan soal perkara yang menjerat beberapa karyawannya itu. Ia juga sempat menerangkan, bagaimana modus yang digunakan anak buahnya bekerja sama dengan anak buah PT Bahana Line tersebut.
Bahkan, Slamet menuding otak dari pencurian BBM itu adalah karyawan outsourching PT Meratus Line bernama Edi Setyawan. Edi telah menerima sejumlah uang dari karyawan PT Bahana Line.
“Edi Setyawan (terdakwa) terima Rp 500 juta perbulan dari karyawan PT Bahana Line. Transaksi ini terjadi sejak 2015 namun, diketahui pada tahun 2022.
Pengakuan Edi Setyawan mengatakan, Rp 600 Juta tapi pada Januari mereka (para terdakwa) sudah terima Rp 500 Juta hingga 3 kali. “Dan yang mengambil Edi Setyawan sendiri maka kita berani laporkan ke Polisi ,” ujar Slamet.
Slamet juga beberapa kali terlihat emosional dengan menyebut adanya keterlibatan PT Bahana Line secara institusional dalam kasus dugaan penggelapan BBM ini.
Slamet mengakui jika pihaknya merasa kecolongan dan menyebutnya sebagai miss dalam manajemennya. “Itu miss kami di Manajemen, ” kilahnya.
Hal ini menjawab pertanyan pengacara terdakwa Gede Pasek Suardika (GPS) terkait pernyataan Slamet soal status karyawan Meratus, terdakwa Edi Setyawan yang disebutkan sopir dan outsourching tetapi bisa memiliki kewenangan melebihi pegawai organik dan atasannya sendiri.
Sementara itu, saksi Feni mengatakan, berdasarkan audit internal pihaknya menemukan kerugian atas kasus dugaan penggelapan BBM itu sebesar Rp 500 miliar terhitung sejak 2015. Ia pun mengaku, dasar audit yang dilakukan adalah dari keterangan atau pengakuan para terdakwa yang kemudian diasumsikan olehnya.
“Ditemukan kerugian sebesar Rp 500 miliar, terhitung sejak 2015,” ungkapnya.
Selain itu, pihaknya pun melakukan audit untuk kedua kalinya dan ditambahkan lagi adanya audit eksternal. Uniknya, ia mengakui terdapat perbedaan atau selisih dari kedua hasil audit tersebut. Hasil audit internal kedua menemukan dugaan kerugian sebesar Rp 94 miliar dan hasil audit eksternal hanya menemukan kerugian sebesar Rp 93 sekian miliar.
Keterangan Fani tersebut menjadi sorotan dari pengacara para terdakwa. GPS menegaskan, pihaknya meragukan hasil audit yang dilakukan oleh Fani. Apalagi, dalam ketiga audit tersebut ditemukan ketidak cocokan hasil kerugian yang dimaksud.
Berdasarkan internal audit diawal menyebutkan Rp 500 miliar tetapi banyak berbasis asumsi, lalu ada audit lagi ditemukan Rp 94 miliar lebih tetapi perhitungan eksternal audit disebutkan Rp 93 miliar. “Ada perbedaan yang jauh itu membuat hasil audit diragukan,” kata GPS.
Secara rinci GPS juga memastikan apakah selama kurun waktu 2015 sampai 2021 hubungan kerja dengan Bahana tidak pernah ada masalah. “Tidak pernah ada masalah semua dokumen komplit sesuai perjanjian dan ditandatangani kedua belah pihak,” kata Slamet.
Dalam kesaksian itu, sempat terjadi perbedaan keterangan antara saksi Dirut Slamet dengan saksi Fani. Dimana Fani menjelaskan bahwa Pocket di Kapal Meratus disebutkan digelapkan dan dijual oleh oknum karyawan, sementara Slamet mengaku kalau yang dijual itu BBM dari vendor yang dibelokkan.
Diakhir persidangan, Ketua Majelis Hakim Sutrisno meminta tanggapan para terdakwa atas keterangan para saksi. Uniknya, salah satu terdakwa bernama Erwinsyah, karyawan PT Meratus Line, menyatakan bahwa selama ini pihaknya telah mengalami tekanan dari perusahaan untuk membuat surat pernyataan. Tekanan itu, disebutnya dengan menghadirkan pihak lain seperti oknum polisi dan oknum TNI.
“Kami diminta untuk membuat surat pernyataan di bawah tekanan. Kenapa saya ngomong demikian, karena waktu kami disuruh membuat surat pernyataan, ada personel polisi dan TNI yang memperkenalkan diri secara jelas,” katanya.
Sementara itu, Edi Setyawan yang dituduh sebagai otak dari pencurian BBM ini membantah semua keterangan bosnya itu. Ia menyebut tidak ada satu pun keterangan dari bosnya itu yang benar. “Salah semua yang mulia,” ujar Edi.
Menanggapi beberapa bantahan terdakwa itu, Hakim Sutrisno pun meminta pada para terdakwa agar menuangkannya dalam nota pembelaan nantinya.