JAKARTA, Indotimes.co.id – Moderasi Agama adalah suatu kebutuhan di tengah-tengah krisis Humanisme dan radikalisme. Hal itu disampaikan Ketua Umum PB Ikami SulSel, Muh Iqra Zulfikar Wisnu dalam sebuah webinar nasional Moderasi Beragama dengan tema “Moderasi Beragama dan Kebangsaan Bagi Kalangan Millenial,”, Sabtu 12 Maret 2022, melalui zoom meeting.

“Di sini sangat dibutuhkan peran pemuda untuk memberikan pencerahan kepada sesama pemuda. Bagaimana kita bisa saling bekerjasama dengan banyak sekolah-sekolah di daerah,” ucap Zulfikar.

Menurutnya dari sisi bagaimana Al-quran bicara tentang moderasi beragama. Dalam Alquran juga terdapat term-term yang menunjukan adanya keragaman hayati baik flora maupun fauna, yang mana Tuhan melalui Alquran memang mengehndaki keragaman itu.

Seandainya Allah menghendaki maka akan menyeragamkan semua itu. Dan Allah menegaskan bahwa itu semua perbedaan adalah rahmah.

Di dalam Alquran juga terdapat berbagai perintah agar kita tidak merusak hubungan sosial dengan alasan berbagai perbedaan. Misalnya ada ayat yang melarang kita untuk memaki simbol-simbol sakral agama lain.

Karena itu setiap manusia harus menciptakan ekosistem untuk menguatkan moderasi beragama yang dimulai dari cakupan peran keluarga, peran masyarakat, peran lomba pendidikan, peran lembaga keagamaan, peran media, peran negara.

Hidup di Indonesia juga berdasarkan asas Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang tujuannya tidak jauh beda dengan tujuan Islam.

Persoalannya adalah, banyak penceramah-penceramah agama yang justru konfrontatif baik yang dilakukan secaralangsung maupun tersebar lewat media sosial terhadap berbagai perbedaan dan fenomena kebudayaan.

Ini harus dihindari dan digantikan dengan alat dakwah yang lebih baik, seperti para wali,yang didukung oleh lebih intens lagi ormas-ormas agama dan lembaga-lembagapendidikan agama.

Baca Juga:  Kemenpora Luncurkan Program TALENTA MUDA Sebagai Pelatihan Kader Pemimpin Muda Nasional

Artinya harus melakukan penguatan kembali elemen-elemen yang sudah disahkan hingga yang dibentuk pemerintah seperti Forum Kerukunan Umat Beragama, pembentukan tim pokja, penyuluhan toleransi beragama dan Lembaga Anti-Terorisme lainnya.

Begitu juga kemendikbud yang sudah menyusun kurikulum anti-kekerasan, agar narasi-narasi yang moderat semakin terus tersebar dan efektif mencegah masyarakat terjebur dalam paham-paham radikal.

Ada tiga hal. Pertama, karena ada praktik agama yang ekstrim dan berlebihan. Kedua adanya klaim sebab kebenaran subjektif sepihak. Makin banyak klaim mengakfirkan, bahkan emmurtadkan. Ketiga, ada orang beragama kemudian keluar dari konsesus kebangsaan.

Terakhir, hal yang penting untuk disadari adalah bahwa program moderasi beragama itu bukan hanya untuk umat islam. Akan tetapi, juga kepada umat lain seperti ke gereja-gereja seperti di Papua sehingga tidak muncul lagi isu-isu yang ingin melepaskan diri dari NKRI.

Menanggapi hal itu, Ketua BPET MUI Pusat Muh Syauqillah, menjelaskan banyak kasus radikalisme ternyata adalah kalangan muda. Ini harus disadarai oleh kita semua.

Dan Global Terorisme Indeks 2020, ini berkaitan dengan metode rekruitmen. Salah satunya adalah melalui online propaganda yang meliputi rekruitmen, propaganda, pendanan,pelatihan, konsolidasi, perencanaan dan pembaiatan, famili dan pertemanan.

“Terkait paradigma moderasi beragama, ada teori Levelling Teror Actor yang meliputi mereka yang, 1) pendana pasif, 2) pelaku teror, 3) pendukung aktif, 4) aktif di jaringan teror, 5) aktif di pemikiran dan operasional, 6) tokoh promeinen/ideolog. Saya katakan, dengan ini bahwa program moderasi beargama harus meliputi setiap levelnya. Jika tidak, maka akan sia-sia. Jadi dari hulu ke hilir,” papar Syauqillah.

Baca Juga:  MUI dan Pemerintah Siap Deklarasikan Gernas Pendewasaan Usia Perkawinan

Syauqillah juga menuturkan, ada 10 prinsip Islam Washatiah yang perlu dipahamii oleh generasi muda khususnya.

Pertama, Tawassuth (tengah), Kedua, Tawazun (seimbang), Ketiga I’tidal (lurus/tegak), keempat Tasamuh (toleransi), kelima Musawah (egaliter), keenam Syuro, ketujuh Ishlah (reformasi), kedelapan Adawiyah, kesembilan Tathawwr wa ibtikar (dinamis dan inovatif), dan sepuluh Tahadhdhur (berkeadaban).

“Jika seandainya prinsip-prinsip ini bisa dihayati dengan baik dan dipraktikkan urgensinya, maka kita tak perlu khawatir generasi berikutnya yang akan memegang peranan penting apakah akan terjerumus pada teror atau tidak. Karena dengan itu semua maka tidak akan,” papar pakar radikalisme ini.

Sementara itu, Pendiri NII Crisis Center yang juga adalah eks dari NII Ken Setiawan mengumukakan pandangannya terkait dengan radikalisme di kelompok muda.

“Saya di sini berbicara sebagai mantan pelaku. Sebenarnya melihat fakta di lapangan, cukup prihatin. Mengapa ? Sebab banyak orang di luar terpapar radikalisme tetapi tidak menyadari,” katanya.

Menurutnya, ada yang mengaku sangat pancasilais, namun ketika ditanya apakah agama kita dengan agama yang lain Tuhannya satu atau beda? Ternyata jawabannya ya beda.

Itu bukan hanya di masyarakat umum, tetapi juga di kementrian agama. Dan ini juga bahkan terjadi di Forum Kerukunan Umat Beragama.

“Jadi mereka bertoleransi itu hanya di fisik, tetapi di pikirannya tetap berperang. Jadi mereka masih menganggap benar sendiri dan yang lain salah,” imbuh Ken.

Baca Juga:  Lurah Kotabaru Bekasi Barat Apresiasi Pemilihan Ketua RW 19

“Kita ini jujur saja, kita kurang duduk bersama sehingga salah persepsi. Misal, banyak orang mengatakan Tuhan Hindu itu ada banyak ada 3, tetapi ketika kita duduk kepada penganut aslinya, maka di sana ternyata hanya ada satu Tuhan. Ini salah,” tutur Ken Setiawan.

Kemudian, terangnya, ada pandangan masyarakat yang sepertinya keliru. Bahwa yang disebut radikal adalah jenggot. Padahal bukan. Radikal itu keinginan merubah sesuatu untuk meruntuhkan sistem negara dan menggantikannyadengan sistem lain secara keseluruhan dengan cara kekerasan.

Ada juga yang terjadi, masyarakat kurang memahami kenapa orang-orang Radikal juga tidak ditangkapi. Padahal, harus mengerti bahwa proses itu semua regulasinya belum lengkap. Mungkin bentuk-bentuk ormasnya sudah bisa ditangani, tetapi lebih jauh belum.

“Bayangkan, ada riset mengatakan bahwa pelajar23,3% pelajar kita sudah setuju dengan pengubahan negara islam. Ada mahasiwa dengan angka yang tak jauh, kemudian disusul oleh pegawai hingga aparat. Itu parah. Bahkan bukan lagi terpapar, tapi tertangkat,” jelasnya pula.

Soal penyebaran hoax, ujaran kebencian terhadap pemerintah dan kelompok lain, itu juga penting. Karena semua informasi hoax dan adu domba tersebar di sini. Kita harus lebih serius dan waspada untuk nasionalisme. Ancaman dalam genggaman.

“Yang waras harus bergerak. Mereka itu padahal sedkit. Kita majority silent dan diam. Mereka itu sedikit, tetapi bekerja 24 jam. Makanya, seklai lagi kita semua harus lebih giat agar generasi kita bisa kembali lagi ke ahlusunnah wal jamaah,” tandasr Ken.