JAKARTA, Indotimes.co.id – Pakar manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali menilai, tidak ada gunanya awak mobil tanki (AMT) melakukan unjuk rasa dan bahkan menuntut diangkat sebagai karyawan tetap.
Apalagi pemutusan hubungan kerja yang ditetapkan Perusahaan Pemborong Pekerjaan Pengangkutan (4P) adalah wajar, mengingat kinerja AMT yang notabene bukan karyawan tetap 4P, memang tidak baik.
“Pengusaha tentu tidak mau tersandera. Ada mekansismenya, ada ketentuan UU-nya, bahwa ada masa percobaan sekian bulan. Kalau dalam masa percobaan itu tidak perform, pengusaha bisa melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam hal ini pengusaha dilindungi UU, kecuali mereka sudah diangkat menjadi karyawan tetap,” kata Rhenald di Jakarta, Sabtu (8/7/2017).
Menurut Rhenald, jika kinerja AMT yang tidak baik, maka pemutusan hubungan kerja yang dilakukan 4P memang tidak salah. Karena para 4P tentu sudah memiliki mekanisme, termasuk rujukan sesuai UU Ketenagakerjaan itu sendiri.
“Apapun kalau tidak perform, bisa di-PHK. Siapa sih pengusaha yang mau memelihara pegawai yang tidak disiplin,” kata Rhenald.
Dalam konteks itulah Rhenald menganjurkan, agar para AMT menghentikan aksi unjuk rasa mereka. Sebab yang akan paling merasakan kerugian dalam aksi unjuk rasa tersebut, bukanlah 4P dan Pertamina Patra Niaga, tetapi justru AMT itu sendiri.
“Sayang kalau membuang waktu. Lebih baik energi dipergunakan untuk membangun masa depan. Mereka sendiri yang rugi. Daripada bolak-balik unjuk rasa, lebih baik mereka mencari pekerjaan lain lagi,” ujarnya.
Di sisi berbeda, Rhenald juga menegaskan, karena AMT tersebut bukan karyawan tetap 4P, maka sudah selayaknya yang bertanggung jawab adalah 4P itu sendiri. Dalam hal ini, yang menyelesaikan semua persoalan, seharusnya adalah 4P.
“Jadi semua itu yang bertanggung jawab memang perusahaan pemborong. Tidak ada urusannya dengan Pertamina Patra Niaga,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, AMT yang melakukan unjuk rasa adalah bukan karyawan tetap 4P. Mereka juga bukan karyawan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan sema sekali tidak terikat kontrak kerja dengan anak usaha Pertamina tersebut.
Pemutusan hubungan kerja dilakukan karena performa AMT memang tidak memenuhi standar kinerja. Misalnya, dalam masa percobaan, mereka hanya masuk 5-6 hari per bulan, padahal yang diminta adalah selama 20 hari.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Hatta Taliwang mengatakan, pengusaha tentu memiliki perjanjian dengan AMT.
Misalnya terkait dengan masuk kerja selama 20 hari dalam sebulan dengan jam kerja minimal delapan jam sehari. Kalau tidak memenuhi, tentu perusahaan memiliki kebijakan terhadap AMT tersebut.
Apalagi, lanjut Hatta, dalam kondisi bisnis saat ini yang sedang sulit. Dengan kinerja demikian, tentu berat bagi pengusaha untuk mengangkat mereka menjadi karyawan tetap.
“Kita semua semua setuju dengan kesejahteraan mereka, tetapi juga harus memahami kondisi yang dihadapi pemilik usaha,” kata Hatta.
Hatta juga menyebut, tuntutan kepada PPN adalah tidak tepat. Pasalnya, status mereka sebelumnya bukan merupakan karyawan tetap 4P.
Dengan demikian, jika mereka sedang bermasalah, maka hendaknya dibicarakan dengan perusahaan tempat mereka bekerja.
“Jangan menyusahkan institusi yang tidak ada kaitan langsung. Pertamina tidak tahu apa-apa, masak harus kena getahnya,” katanya. (Chr)