JAKARTA, Indotimes.co.id – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui bahwa setelah berlaku hampir berlaku 12 tahun, ternyata pasal karet dalam Undang Undang Infomatika dan Teknologi (UU ITE) harus dilakukan revisi karena dinilai merugikan masyarakat.

“Kita sedang mendiskusikan kesepakatan baru. jadi jangan alergi terhadap perubahan itu karena di dalam ilmu hukum selalu diajarkan perubahan yang disesuiakan. Tidak ada hukum yang berlaku abadi, yang penting masyarakat berubah,” ungkap Mahfud MD saat menjadi pembicara kunci di webinar ‘Menyikapi Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Kantor Pusat PWI, Jakarta, Kamis (25/2).

Menurut Mahfud MD, jika dalam UU ITE ada watak pasal karet, kita bisa revisi. “Apakah dengan mencabut atau menambah norma baru, bisa saja dilakukan di dalam kerangka itu, bahwa hukum adalah kesepakatan yang dibuat. Saat ini kita sedang mendiskusikan kesepakatan baru. Jadi jangan alergi terhadap perubahan itu karena di dalam ilmu hukum selalu diajarkan perubahan yang disesuaikan, Tidak ada hukum yang berlaku abadi, yang penting masyarakat berubah,” ungkap Mahfud MD.

Lebih lanjuut Mahfud MD, mengatakan dimana ada masyarakat disitu ada hukum. “Hukum itu berubah jika alasannya berubah, sesuai dengan pilahnya, jangan takut merubah hukum. TIdak bisa diingkari sejak dahulu, hukum itu selalu bisa diubah sesuai perubahan jaman. Kita punya kebutuhan hukum sendiri, hukum bisa berubah dengan waktu, tempat. Untuk itulah pemerintah, menyambut baik webinar yang diadakan PWI ini,” katanya pula.

Baca Juga:  Penerapan Pancasila yang Komprehensif, Kunci Kuatnya Keberagaman

Sementara itu, pakar hukum Abdul Fikar Hadjar SH MH mengakui permasalah di UU ITE pada dasarnya permasalahan yang timbul hampir sebagian besar antara orang per orang, jadi harusnya bisa ‘dilarikan’ ke urusan perdata, karena itu resminya ada sikap yang jelas dari penegak hukum, tidak semua laporan diterima, saringannya adalah pendapat.

“Kualifikasi ujaran mana yang termasuk kritik, pencemaran nama baik. Di luar itu, tidak masuk kualifikasi. Yang jadi soal, ssaat ini semua masuk laporan, yang terakhir kasus Abujanda, setelah itu baru muncul idenya untuk merevisi. Butuh penjelasan, bisa dibedakan mana politik mana pidana,” ujar Abdul Fikar, yang juga menjadi nara sumber lain di webinar ini.

Karena itulah, Abdul Fickar Hadjar menghimbau agar aparat penegak harus ketat dalam menerima laporan, dan itu sudah dilakukan kepolisian. “Itu diinspirasi oleh niat presiden,” selorohnya.

Abdul Fickar juga sepakat jika pasal 27 dan 28 direvisi karena tidak semua ujaran dianggap pencemaran karena yang ditakutkan adalah ancaman hukumannya. “Lebih dari lima tahun, bisa ditangkap, itu yang menakutkan, namun jika di KUHAP kurang dari lima tahun ancaman hukumannya tidak bisa ditahan,” imbuhnya.

Sedangkan Wakil Ketua DPR RI, Aziz Samsudin mengatakan pasal-pasal yang berkatian dengan UU ITE antara lain pasal 27, 28, 36 dan 40, tentu hal ini menjadi perhatian kita semua kepada masyarakat dan penegak hukum, bagaimana UU ITE menyikapi.

Baca Juga:  Realisasi APBD TA 2020 Pemprov Banten Di Atas 90%

“Kami di parleman menunggu dari kesepakatan partai untuk membahas dan menyikapi hal ini, untuk disetujui bersama pemerintah, apabila disetujui, tentu menjadi bahan diskusi. Hingga hari ini, pembahasan tentang itu belum ada, baru wacana di media. tentu akan menjadi bahasan. Intinya DPR menunggu kesepakatan yang diambil pemerintah dan parlemen untuk dibahas dengan 9 partai di parlemen,” jelas Aziz Samsudin.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengakui bahwa terkait maraknya permintaan revisi UU ITE. Nuh mengungkapkan, UU ITE yang disusun pada 2008 awalnya memang tidak diharapkan berfungsi seperti saat ini.
“Saya mikir kok rasanya dulu tidak begini, dulu kita ingin memberi kepastian hukum transaksi teknologi tapi kok tiba-tiba urusan caci maki,” ujar M. Nuh.

Nuh menyebut UU ITE kini menjadi ganjalan bagi demokrasi di Indonesia. Tidak saja di lapisan masyarakat, wartawan pun banyak dirugikan karena dilaporkan ke pihak berwajib dengan merujuk UU ITE.

Muh. Nuh melanjutkan, awalnya ide dari ITE untuk memberikan payung transaksi-transaksi ekonomi, dan perkembangan informasi digital Indonesia. “Dulu itu kan tanda tangan harus tanda tangan basah, yang punya legal standing diteken pakai meterai, cap stempel dan lainnya. Faks juga belum punya dasar, sekarang sudah bisa dijadikan produk hukum,” imbuhnya.

Baca Juga:  Menpora : Program MSIB Perkuat SDM Anak Muda

Nuh juga menambahkan melalui Surat Edaran Kapolri mengenai Penanganan Perkara UU ITE belum cukup untuk bisa melindungi masyarakat. “Saya coba pahami begitu Kapolri keluarkan aturan kalau sudah minta maaf tidak perlu dipenjara, tapi penting agar UU ITE ini dibuat turunan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen) yang memang berikan perlindungan rasa keadilan pada masyarakat,” tandasnya.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari saat memberikan sambutan pada acara Webinar mengatakan UU ITE seharusnya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

“Bukan justru menakut-nakuti warga yang menyampaikan pendapat berbeda dan kritis. Sedangkan ceck and balance merupakan kehidupan demokrasi yang baik,” tegas Atal.

Menurutnya, ceck and balance hanya bisa terjadi jika kebebasan berbicara, berpendapat, berpikir kritis serta kemerdekaan pers tetap berjalan secara bebas dan bertanggung jawab.

Untuk webinar lanjutan, Atal S Depari pun mempunya wacana akan menghadirkan nara sumber yang kredibel serta mendatangkan korban pelaporan atau mereka yang pernah bersinggungan dengan pelaporan UU ITE.

Webinar ‘Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE’ yang diadakan PWI Pusat ini, di moderatori oleh Wina Armada Sukardi, dan diikuti sedikitnya 300 peserta dari seluruh wilayah di Tanah Air.