JAKARTA, Indotimes.co.id – Radikalisme dan terorisme adalah ancaman yang terus mengintai, terutama bagi generasi muda yang rentan terhadap pengaruh ideologi ekstrem. Dari penangkapan terduga teroris di Kota Batu berinisial HOK yang akan melakukan aksi terornya, diketahui bahwa proses radikalisasi pada generasi muda bisa terjadi dengan relatif cepat dan tanpa diketahui oleh lingkungan sekitarnya.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, PhD. mengungkapkan bahwa upaya menjaga generasi muda dari swa-radikalisasi memerlukan pendekatan yang komprehensif dan sinergi antara berbagai pihak, termasuk keluarga, masyarakat, dan negara.
“Sebagai upaya pencegahan terhadap swa-radikalisasi di kalangan generasi muda, diperlukan peran keluarga yang proaktif dalam menanamkan literasi digital yang baik. Selain itu, sebaran narasi positif yang konsisten dan penegakan hukum yang tegas menjadi faktor pendukung dalam membentuk generasi muda yang resisten terhadap ideologi transnasional,” ujar Noor Huda Kamis (8/8).
Dirinya menjelaskan, gejala terpaparnya seseorang atau kelompok tertentu, bisa dikenali dengan menyoroti tiga aspek atau juga dikenal dengan konsep 3N, needs, network, dan narration.
“Needs. Mungkin si individu yang terpapar ini sedang galau, mencari identitas, ataupun punya keinginan untuk dihormati. Pemenuhan kebutuhan emosional ini bisa jadi salah satu pintu masuknya seseorang terhadap kelompok radikal,” kata Noor Huda.
“Network. Model dan jangkauan jaringan ideologi transnasional semakin meluas. Kalau masa lalu itu kan jaringan kelompok radikal terorisme hanya berdasarkan offline. Kita harus datang ke pesantren atau pengajian tertentu, tapi sekarang itu orang bisa ke ‘syaikh’ Google, langsung jadi radikal. Ini salah satu tantangannya.”
“Narration. Kesiapan lingkup keluarga dalam menyikapi narasi intoleran akan menentukan seberapa tinggi resistensi Indonesia terhadap paham radikal terorisme. Sedari dini, generasi muda harus bisa memahami bahwa apa yang ada di internet itu tidak semuanya benar,” terang Noor Huda.
Kesemuanya ini menjadi tantangan besar masing-masing tingkatan lingkungan di Indonesia, dimulai dari keluarga yang ada di rumah. Walaupun dalam penangkapan terduga teroris di Batu kemarin bisa dilaksanakan berkat kerja cepat dari penegak hukum, tentu kejadian ini bukanlah yang terakhir.
“Kita harus apresiasi aparat penegak hukum karena bisa menangkap terduga teroris sebelum mereka bisa melancarkan rencana terornya. Namun perlu dipahami pula bahwa penangkapan ini hanyalah tip of an iceberg, ibarat puncak gunung es saja. Kejadian seperti ini sangat mungkin untuk terulang kembali,” ujar Noor Huda.
Peraih gelar Ph.D dari Monash University ini menjelaskan pula bahwa radikalisme dan ekstremisme tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi juga masalah global. Ini bisa ditunjukkan dengan meningkatnya peristiwa kerusuhan di Inggris dan serangan terhadap masjid-masjid disana.
Fenomena destabilisasi sosial politik dengan skala internasional ini bisa direduksi dengan memahami relasi antara dunia online dan offline dalam penyebaran ideologi radikal. Misinformasi dan disinformasi yang teramplifikasi melalui media sosial menjadi salah satu faktor utama dalam proses swa-radikalisasi atau radikalisasi secara mandiri.
Ia menilai, kewaspadaan akan isu semacam ini menjadi semakin penting, mengingat potensi kerugian besar yang dapat ditimbulkan jika swa-radikalisasi makin marak terjadi. Semua perlu menyadari akan pentingnya mengimbangi narasi radikal yang tersebar luas di dunia maya.
Menurut Noor Huda, salah satu upayanya adalah melalui program Duta Damai dan Sekolah Damai yang diselenggarakan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang memiliki peran penting dalam penanggulangan terorisme.
Program-program ini tidak hanya mengajarkan literasi digital tetapi juga mempromosikan pesan-pesan damai dan toleransi, khususnya pada generasi muda.
Dalam perspektif penegakan hukum, sampai dengan saat ini Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan yang belum kunjung usai.
Noor Huda berpendapat bahwa ada tiga pekerjaan rumah yang mendasar dalam penanggulangan terorisme:
“Residivisme. Masih ada pelaku terorisme yang kembali melakukan kejahatan serupa setelah menjalani hukuman. Menurut data BNPT, angka residivisme ini berkisar antara 8-9%. Jumlah yang kecil tentu tidak bisa disepelekan karena dampaknya bisa merenggut nyawa banyak orang.”
“Radikalisasi Online. Proses radikalisasi yang terjadi melalui internet masih menjadi tantangan besar. Pendanaan kegiatan terorisme juga sering kali dilakukan dengan memanfaatkan berbagai kemudahan jenis pembayaran online, yang seringkali sulit dilacak meskipun semua transaksi telah tercatat.”
“Regulasi Teknologi. Perkembangan teknologi yang cepat membuat regulasi seringkali tertinggal dalam penerapannya. Hal ini memudahkan kelompok radikal untuk memanfaatkan celah-celah dalam regulasi untuk melakukan kegiatan ilegal, seperti pembelian bahan kimia yang dapat digunakan untuk membuat bahan peledak melalui toko online,” ungkapnya.