Penggusuran Kampung, Warga Marunda Tolak Uang Kerohiman

JAKARTA, Indotimes.co.id – Puluhan warga di RT 05/RW 07 Marunda Kongsi, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara menolak uang kerohiman yang ditawarkan calon pembeli lahan yang sudah mereka tempati selama puluhan tahaun.

“Warga di sini sebenarnya tidak keberatan jika harus meninggalkan rumah-rumah mereka yang sudah ditempati selama puluhan tahun, asal uang penggantian yang ditawarkan calon pembeli masuk akal dan manusiawi,” kata Divisi Hukum Forum Kebangsaan (FPK) Jakarta Utara, Abdul Hakim kepada wartawan saat pertemuan dengan warga Marunda Kongsi, Rabu (28/8).

Menurut dia, apa yang dituntut warga setempat juga tidak muluk-muluk dan hanya meminta dibayar sesuai dengan hitungan warga. “Angka yang disampaikan warga masih masuk akal karena hanya Rp 5,1 miliar. Ironisnya, calon pembeli cuma menghargai 60 unit rumah warga senilai Rp 1,6 miliar,” ujarnya.

Selain meminta angka penggantian yang sesuai dengan hitungan warga, menurut Hakim, warga juga meminta Pemda DKI memberikan tempat pengganti yang layak dan aman. “Atau warga tetap bertahan dan meminta Pemda membelinya dan menghibahkan kepada warga yang sudah mendiami lahan tersebut sebelumnya,” ujarnya.

Intinya, kata dia, semua warga harus bersatu dan akan bersama-sama berjuang untuk menuntut hak. “Warga akan bersatu dan berjuang bersama-sama, Insya Allah ini diridhoi Allah SWT dan insya Allah akan berhasil,” ujarnya.

Baca Juga:  Adies Kadir Pertegas Dukungan Ormas MKGR kepada Airlangga Hartarto di Pilpres 2024

Sementara salah seorang warga setempat, Ita mengaku kaget dengan munculnya angka Rp 1,6 miliar dari calon pembeli yang hingga saat ini juga belum pernah dipertemukan dengan warga. “Lah kagak ada pengukuran dan belum ada penilaian sebelumnya, ehh tiba-tiba muncul nilai kerohiman  yang kalok dibandingin sama  hitungan warga sangat jauh banget dah selisihnya,” ujarnya.

Yang aneh lagi, kata dia, jumlah yang mau dibayar ke warga tidak cocok dengan harga bangunan yang ada. “Ada rumah yang jelek lah dibayarnya malah  lebih mahal, nah giliran bangunan yang lebih bagus malahan mau dibayar murah. Kami minta keadilan yang seadil-adilnya. Kami juga minta setiap bangunan yang mau digusur harus diukur dan dinilai yang bener. Jangan tiba-tiba terus ada jumlah harganya aja ini kan kayak dibikin semau-maunya ajah,” katanya.

Sementara warga lainnya, ibu Inah mengaku tidak ridho jika rumahnya hanya dihargai Rp 35 juta saja. “Saya tidak rela, kagak redo kalok rumah saya hanya dihargai segitu, dulu tanah ini cuman  empang kosong kagak ada apa-apanya dan saya harus menguruknya hingga seperti ini jadi rata terus saya bangun seperti ini. Nah pas saya sudah tua begini,  ini rumah mau digusur dan hanya diganti rugi seperti itu,” katanya.

Baca Juga:  Salamuddin: Pajak Freeport, Negosiasi atau Tipu-Tipu?

Pada kesempatan yang sama, Ahmad Yani  salah seorang warga yang mengaku sebagai kepanjangan tangan pihak penjual mengaku siap menjembatani kepentingan warga dengan pemilik lahan. “Saya siap menjembatani, yang pasti pemilik lahan tidak melupakan warga dan akan memberikan uang kerohiman sesuai dengan porsinya,” kata Yani.

Sementara itu, Ketua RT 05 RW 07 setempat, Suhaeni, mengaku siap berjuang dengan warga untuk bersama-sama menuntut keadilan. Pasalnya ia bersama keluarga besarnya juga termasuk pihak yang dirugikan.  Hanya saja, sejumlah warga menyayangkan keputusannya untuk tidak memasukkan nama dia dan keluarganya dalam daftar nama warga.

Disinggung tentang hal ini, Suhaini tidak menampik. Namun menurut dia hal itu dilakukan karena tidak menginginkan pengalaman yang pernah dialami keluarganya dulu terulang lagi. “Dulu orang tua kami sebagai penggarap di lahan punya ibu Jubaida (pemilik lahan yang sama) juga , tetapi tidak mendapatkan apa-apa termasuk 7 rumah keluarga yang juga tidak mendapat ganti rugi,” kata salah satu cucu Haji Basyuni yang merupakan penggarap pertama lahan punya Jubaida ini.

Baca Juga:  THE ENSIGHT “No One Left Behind: GESI dalam Transisi Energi”

Guna menghindari hal yang sama terulang lagi, ia akhirnya berembuk dengan keluarganya yang lain dan diputuskan 10 unit rumah keluarganya yang ada di Marunda Kongsi tidak masuk dalam daftar yang sama dengan warga. “Tidak ada maksud lain, tapi semata-mata hanya karena sebagai keluarga penggarap kami juga ingin diperhatikan,” kata Suhaini yang diamini cucu Haji Basuni lainnya, Ahmad Yani.

Sementara Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik, Sofyano Zakaria secara terpisah mengatakan, Pemprov DKI harus segera turun tangan menelusuri masalah ini agar tidak berkembang menjadi masalah yang bisa menimbulkan gejolak sosial.

“Gubernur DKI perlu meneliti apakah maksud penggusuran perkampungan ini benar untuk kepentingan Pemprop DKI. Asal-usul dan bukti kepemilikan hak atas tanah juga perlu diteliti secara akurat jangan sampai lahan disitu adalah tanah milik negara. Ini berpotensi merugikan negara jika diakui oleh pihak tertentu yang tak berhak,” ujar Sofyano.