JAKARTA, Indotimes.co.id – Pencegahan stunting adalah agenda besar pemerintah di bidang kesehatan, mengingat tingkat prevalensi stunting sebesar 30,8 persen di Indonesia (Riskesdas 2018) menunjukkan perlunya lebih banyak upaya efektif yang dilakukan guna penanggulangan permasalahan tersebut.
Hal ini sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mendesak penanggulangan stunting dan himbauan untuk fokus kepada hasil, pada pengenalan Kabinet Indonesia Maju, awal bulan lalu.
Terkait permasalahan itulah, dalam diskusi Demokratisasi dan Kesehatan Masyarakat bertajuk Tantangan Penanggulangan Masalah Gizi Anak Nasional, The Habibie Center memberi rekomendasi kepada pemerintah agar melakukan implementasi terobosan kebijakan untuk atasi stunting.
Prof. Dr. dr. Damayanti R. Syarif, SpA. (K) Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik, FKUI – RSCM dalam paparannya menjelaskan, untuk mencegah stunting, diperlukan pemantauan status gizi yang benar, tata laksana rujukan berjenjang hingga intervensi gizi.
Menurutnya selain permasalahan asupan nutrisi, kondisi penyakit tertentu dapat meningkatkan resiko stunting karena dapat mempengaruhi peningkatan kebutuhan nutrisi maupun kemampuan anak menyerap nutrisi yang dikonsumsi. “Dalam kondisi seperti ini, anak membutuhkan intervensi gizi yang memang sudah terbukti dapat memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan anak.” kata Damayanti.
Diskusi lintas lembaga yang dihelat dalam rangkaian peringatan ulang tahun ke-20, The Habibie Center ini membahas intervensi gizi spesifik yang tepat untuk menanggulangi masalah gizi khususnya akibat penyakit pada anak terutama penyakit-penyakit yang berkontribusi besar terhadap angka kejadian stunting, antara lain gagal tumbuh, gizi kurang dan gizi buruk.
Stunting adalah kondisi yang bersifat irreversible, atau tidak dapat diperbaiki setelah anak mencapai usia dua tahun. Jika terdeteksi penurunan berat badan (weight faltering), anak harus segera ditangani secara medis agar dokter dapat mencari penyebab kondisi tersebut dan solusinya.
“Tugas kita adalah menjaga apakah anggaran kesehatan sebesar 5,2 persen dari APBN sebesar 220 Trilyun akan bisa menghasilkan kondisi kesehatan yang baik. Kebijakan publik perlu diintervensi dengan semangat demokratisasi, sehingga implementasi dalam bidang kesehatan sangat diperlukan,” ujar Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center Prof. Dr.Sofian Effendi.
Sementara itu, pihak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melalui Kasubdit Penanggulangan Gizi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat , Inti Mudjiati menyatakan, pada pertengahan tahun ini, Kemenkes telah mensyahkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Akibat Penyakit.
Permenkes ini mengatur mengenai Pangan Olahan untuk Kondisi Medis Khusus (PKMK) yang diprioritaskan untuk anak dengan resiko tinggi gagal tumbuh seperi gizi kurang, gizi buruk, prematur, alergi, hingga kelainan metabolik lainnya untuk mencegah stutning. Peraturan ini adalah upaya terobosan pencegahan stunting, dan membutuhkan pembahasan lebih lanjut mengenai sasaran dan pembiayaan untuk mendorong implementasinya.”
Menurutnya penggunaan PKMK sebagai tata laksana intervensi gizi spesifik bukan tanpa alasan. PKMK adalah pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai manajemen diet bagi anak dengan penyakit tertentu. Selain merupakan alternatif nutrisi sumber protein hewani yang padat nutrisi dan dapat dikonsumsi dengan mudah oleh anak, intervensi melalui PKMK yang sudah teruji dapat meningkatkan pertumbuhan anak.
Hal itu didukung Prof. Damayanti selaku Tim Dokter Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, yang memaparkan hasil penelitian intervensi gizi spesifik dalam pencegahan dan penanganan stunting di Desa Bayumundu, Kabupaten Pandeglang, termasuk edukasi pola makan berbasis protein hewani dan penggunaan PKMK dalam kondisi medis tertentu di bawah pengawasan dokter, yang telah berhasil menurunkan prevalensi stunting sebesar 8,4 persen selama 6 bulan. Karenanya Damayanti mendorong pemerintah untuk segera melakukan implementasi kebijakan dan tidak harus terhambat oleh aturan aturan teknis yang seharusnya bisa segera dikeluarkan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas yang diwakili oleh Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan,Subandi menuturkan terdapat dua prioritas utama di bidang kesehatan yang sudah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024, yaitu penurunan angka kematian ibu dan penurunan prevalensi stunting.
“Kami memiliki target yang cukup ambisius untuk menurunkan stunting hingga 19 persen pada tahun 2024 dan hal ini perlu diikuti dengan intervensi yang konvergen. Jika tidak, potensi kerugian ekonomi setiap tahunnya akibat stunting adalah 2-3 persen dari GDP. Untuk itu, mari kita bersama-sama fokus untuk memastikan agar intervensi yang kita miliki tidak hanya terkirim (sent), tetapi tersampaikan (delivered) ke masyarakat,” ujarnya.
Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie, M.M., Associate Fellow di The Habibie Center mengatakan bahwa tingginya angka stunting adalah cerminan ketidaksetaraan sosial dan hal ini berkaitan erat dengan demokratisasi. Maka dari itu, The Habibie Center menyampaikan 7 rekomendasi terkait penanganan stunting yang terdiri dari: pertama penimbangan dan pengukuran balita setiap bulan di Posyandu, dan dibutuhkan kelengkapan alat ukur sesuai standar WHO, kemudian pengesahan revisi PMK Antropometri Anak untuk deteksi tumbuh kembang balita. Perbaiki buku KIA untuk memperbaiki pola MPASI dengan Protein Hewani dan pemberian bantuan protein hewani termasuk susu untuk keluarga dengan balita. Pelatihan dokter, bidan, ahli gizi dan kader untuk mendeteksi stunting dengan intervensinya serta penyediaan PKMK untuk kondisi yang menyebabkan stunting seperti gizi buruk, gizi kurang, gagal tumbuh, alergi, prematur, sampai kelainan metabolik. “Yang ketujuh adalah meningkatkan anggaran intervensi gizi spesifik dalam anggaran stunting bukan hanya 30 persen, tetapi misalnya 50:50,” ungkap Widya.
Widya menambahkan. Dari diskusi multi-sektorial hari ini diharapkan akan mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan untuk berkomitmen mempercepat pencapaian penurunan angka prevalensi stunting nasional.
“Adalah tugas kita bersama untuk mengawal implementasi prioritas alokasi anggaran untuk menyediakan intervensi gizi spesifik, termasuk suplementasi ini. Dengan anggaran yang efektif, akan semakin banyak anak yang tertolong dan mendapatkan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal dan sehat melalui penanganan gizi yang tepat.” pungkas Widya.