
Oleh. Sabpri Piliang/Wartawan Senior
PRAGMATISME PM Israel dan Hamas makin membuncah. Begitu juga Presiden Trump, pasca bertemu Raja Abdullah.
Tiba-tiba Hamas memodifikasi tawaran “roadmap” kesepakatan tahap dua. Dari membebaskan sisa 56 sandera bertahap, menjadi sekaligus.
PM Benyamin Netanyahu, pun membalas perubahan Hamas. Duet Kepala intelejen Mossad (David Barnea), dan Shin Bet (Ronen Bar) yang reguler menjadi tim perunding Israel-Hamas. Kini tidak lagi. Diganti.
Menunjuk mantan Dubes Israel di Washington (AS) Ron Dermer. Netanyahu sepertinya ingin “menghapus” semua “barrier” yang terafiliasi dengan kelompok “Sayap Kanan” (garis keras). “Benang merah”nya, Netanyahu yang didukung Trump. Ingin mengakhiri polemik 16 bulan yang “mengiris” perekonomian Israel di berbagai sektor.
Kehancuran ekonomi, pariwisata, dan image genosida yang menempatkan Israel ke kasta “paria” HAM. Telah menyisihkan Israel ke luar dari pergaulan dunia. Baik oleh musuh, “kawan” seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia ikut menjauh.
Adalah pukulan telak terhadap dua pemimpin “sayap kanan”: Bezalel Smotrich dan Ittamar Ben-Gvir, dengan penggantian David Barnea (Direktur Intelejen luar negeri)-Ronen Bar (Direktur Intelejen Dalam Negeri) kepada orang dekat Netanyahu, Ron Dermer.
Barnea-Ronen Bar yang sering berselisih dengan Netanyahu, selama ini enggan melanjutkan proses gencatan senjata. Sepertinya, keduanya berada dalam genggaman Bezalel Smotrich-Ittamar Ben-Gvir.
Sementara Netanyahu yang tersandera oleh kekuatan “sayap kanan” di koalisi pemerintahannya. Juga menghadapi “pressure” dari rakyat Israel, yang menginginkan seluruh sandera bisa cepat dibebaskan.
Nampak, Netanyahu ingin membingkai ulang dan berhitung. Antara melanjutkan peperangan, yang “in motion” tidak mengantarkan pada pemberangusan Hamas. Atau mengikuti “kurva” 15 bulan ke belakang, tanpa kemenangan. Korbannya bukan substantif (Hamas).
Langkah Raja Abdullah (Yordania), yang mengingatkan Presiden Donald Trump. Tentang “bahaya laten” memindahkan 2,2 juta rakyat Palestina. Sepertinya dipahami Trump.
Ada tiga aspek yang akan mengubah peta geopolitik AS terhadap Timur Tengah. Bila itu “dipaksa” dilakukan Trump.
Pertama. Perjanjian perdamaian Israel-Mesir (1978) dan Israel-Yordania (1994) tak akan mungkin bisa dipertahankan dengan “pressure” apa pun oleh AS.
Bila Mesir tetap bertahan dengan kesepakatan yang ditandatangani pendahulu Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi (baca: Anwar Sadat). Sel-sel “tidur” fundamentalis Mesir akan bangkit dan menggerogoti stabilitas Mesir.
Buah “simalakama”, bagi AS-Israel. Bila Mesir menyudahi perjanjian perdamaian 1978, maka arus persenjataan dari perbatasan Gaza akan dengan mudah masuk ke dalam wilayah pendudukan Israel (Gaza & Tepi Barat).
Satu hal yang lebih ditakuti AS-Israel, teman dekat AS-Israel di negara Teluk (Gulf) yang berbentuk kesultanan (UAE, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait). Akan mudah runtuh oleh kaum fundamentalis yang teruji.
Pengusiran 2,2 juta rakyat Gaza ke Mesir-Yordania. Akan menjelmakan sebagian dari mereka sebagai fundamentalis (alami) yang inklusif. Menyebar ke seantero Timur Tengah, bahkan dunia. Mengganggu sahabat-sahabat AS.
Sebagai pengamat, saya yakin. Presiden Donald Trump tak akan meneruskan ucapannya, menjadi realitas. Netanyahu pun juga berhitung, dan terlihat dengan mengganti Ketua Tim perundingnya.
Penunjukkan Ron Dermer menggantikan David Barnea-Ronen Bar adalah isyarat. Netanyahu mulai menjaga jarak terhadap gagasan “cabut gencatan senjata”, dan usir 2,2 juta rakyat Gaza ke Mesir dan Yordania.
Ide “gila” yang diinginkan “Sayap Kanan” Israel ini, bahkan bisa mengubah geopolitik secara ekstreem. Kerugian AS akan lebih banyak.