Indotimes.co.id – Pertamina sebagai holding BUMN sektor migas masih rentan terhadap intervensi dan cooptasi kepentingan elit politik dan mafia migas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemecatan Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama (Dirut) dan penghapusan Wakil Dirut terjadi karena adanya tarik menarik kepentingan yang kuat yang sesungguhnya mengganggu kinerja Pertamina dalam memberikan pelayanan publik.
Modus Konflik semacam yang menimbulkan ketidakharmonisan di internal pertamina memang sengaja dipelihara oleh pihak tertentu agar elit politik dan “pengusaha hitam” mudah untuk mengendalikan BUMN sektor migas ini sebagai pundi-pundi keuangannya.
Belajar dari pengalaman di era kepemimpinan Dwi Soetjipto, cara pengusaha hitam untuk menguasai Pertamina adalah dengan menggunakan pihak internal untuk menimbulkan ketidakharmonisan di jajaran direksi sehingga menganggu performa Pertamina dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Pemerintah yang telah melahirkan kursi Direktur Mega projek yang diisi oleh Rahmat Hardadi bekas Direktur Pengolahan yang khusus menangani megaproyek infrastruktur senilai Rp 700 triliun. Tentu tidak luput dari upaya pengusaha hitam untuk menempatkan orangnya sebagai Dirut yang merupakan nahkoda BUMN sektor migas ini.
Karenanya, pemerintah harus banyak mempertimbangkan berbagai aspek kepemimpinan , profesionalitas yang telah diakui secara nasional maupun internasional dan background harus bersih dari berbagai kepentingan elit politik serta harus bebas konflik dengan anggota direksi Pertamina lainnya.
Langkah pemerintah dalam menentukan Direktur Utama definitif dalam kurun waktu 1 minggu ke depan harus banyak mempertimbangkan aspek profesionalitas, integritas dan independensi dari pengaruh kepentingan elit politik dan pengusaha hitam atau bahkan mafia migas.
Ketiga aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang harus dimiliki oleh calon Dirut Pertamina dan tentunya juga bagaimana bisa membangun relasi dan komunikasi (pengeloaan manajemen) dengan jajaran di bawahnya sebagai satu team yang membawa misi korporasi baik di nasional maupun internasional.
Kita patut memberikan apresiasi terhadap dewan komisaris yang secara maraton melakukan uji kompetensi dalam menjaring kandidat Dirut Pertamina yang dibatasi waktu selama 30 hari.
Memang tidak mudah untuk mencari figur calon Dirut yang akan menghadapi peluang dan tantangan di sektor migas.
Dewan Komisaris harus memiliki aspek prudent (kehati-hatian) dalam memilih calon dirut. Prinsip kehati-hatian harus menjadi pertimbangan khusus supaya pemerintah tidak salah dalam mengambil keputusan yang dapat menjadi ‘bom’ waktu.
Jangan sampai karena faktor waktu yang terbatas (30 hari) dewan komisaris dan kementerian BUMN memaksakan kehendak kepentingan pihak pihak tertentu dan atau golongannya karena hanya memburu rente dari megaproyek infrastruktur, dll.
Dewan Komisaris harus obyektif dan transparan dalam menjaring calon dirut BUMN sektor migas ini. Berkaca pada problem leadership dan profesionalitas terkait dicopotnya Dwi Soetjipto sudah sangat perlu, harus ada uji publik supaya harapan masyarakat terhadap pemimpin BUMN sektor migas tercapai dan bebas dari kepentingan elit politik dan mafia migas
Saat ini keputusan ada di Presiden. Kita berharap bahwa pemerintah harus memiliki prinsip kehati-hatian dalam memilih pemimpin supaya tepat sehingga mampu membawa Pertamina menjadi pemain migas kelas dunia yang disegani seperti dulu.
Pemerintah tidak perlu bergantung dengan ucapannya yang akan mengisisi posisi dirut paling lama 30 hari setelah pencopotan Dwi Soetjipto.
Lebih baik menteri BUMN memperpanjang masa tugas Plt Dirut atau menunjuk Plt Dirut baru agar punya waktu yang cukup dalam menseleksi calon Dirut yang bisa diterima oleh segala pihak.
Oleh: Gigih Guntoro (Pengamat ekonomi / Dir. Eksekutif Indonesian Club)