JAKARTA, Indotimes.co.id – Masih terpuruknya prestasi sepakbola nasional menjadi keprihatinan bersama para lagenda sepakbola nasional. Para mantan pemain tim nasional di eranya ini, mengaku sangat sedih melihat perkembangan sepakbola di Indonesia yang tertinggal jauh dari yang diharapkan.
Selain masih minimnya prestasi, caruk marutnya orgnisasi PSSI, program pembinaan yang tidak jelas, tata kelola yang salah, serta sistem kompetisi tidak berjalan dengan baik, menjadi alasan para legenda sepakbola nasional mengungkapkan kekecewaan mereka.
Dalam momen ajang silaturahmi Football Family yang digelar di Pancoran Soccer Field (PSF) Pancoran Jakarta Selatan, Senin (6/1) para legenda sepakbola nasional dari berbagai angkatan berkumpul bersilaturahmi sekaligus berdiskusi soal sepakbola nasional.
Kapten timnas SEA Games Manila 1991, Ferril Raymond Hattu mengutarakan kegundahannya tentang sepakbola nasional, menurutnya PSSI selaku organisasi yang manaungi sepakbola di Indonesia harus memiliki pola pikir yang modern
Kapten timnas yang sukses mempersembahkan medali emas sepakbola SEA Games 1991 ini, atau emas terakhir sepakbola dari ajang pesta akbar olahraga se –AsiaTenggara itu mengungkapkan lembaga-lembaga sepak bola di kawasan Asia Tenggara, sudah canggih, sudah modern, dan sudah sangat rapi. Namun dia menilai PSSI masih tertinggal, “Sudah saatnya, PSSI juga naik kelas, bisa berpikir dan berpola pikir, menyusun rancangan organisasinya, dengan rapi,” ujarnya.
Selain itu tambahnya, oraganisasi PSSI, harus bernyali, dan berani cari sendiri secara mandiri, sebuah kantor sekaligus pusat database semua pemain di seluruh Indonesia. PSSI juga harus bisa memiliki lapangan sendiri yang mewah dengan infrastruktur, sebagai pusat pelatihan semua pemain dari pelatnas U-16 hingga senior, termasuk futsal dan sepak bola wanita.
“Tanpa pernah berpikir maju, dalam membangun organisasinya. Jangan berharap bisa mencetak prestasi. Minimal, seperti di jaman saya,” tutur Ferril Hattu.
Sedang Fachri Husaini mantan pemian timnas 1988 – 1997, mengakui PSSI tidak fokus terhadap program pembinaan yang dilakukannya. “Saya binggung dengan pengurus PSSI. Banyak pemain berbakat, bertalenta, dan berkarakter kuat mentalnya, dari Sabang sampai Merauke. Tapi, pengurus PSSI dan para stakeholder dibawahnya, seperti Asprov, Askot dan Askab, nggak peduli dengan bakat-bakat terpendam,” kata Fachri Husaini, yang membawa timnas Indonesia U-16, juara Asia.
Fachri juga mengaku sedih, dirinya beberaoa kali meminta kepada pengurus PSSI untuk menggelar kompetisi usia muda berjenjang. Namun hal itu takjuga ditanggapi.
“Ketika saya ditanya Presiden Jokowi, apa yang kamu minta ?. Saya jawab, tolong Pak Jokowi kasih hadiah kami-kami ini, sebuah wadah menggelar kompetisi amatir berjenjang, yang sudah lama mati, nggak digubris PSSI,” ungkap Fachri, saat Timnas U-16 diundang ke Istana Negara, oleh Presiden Jokowi beberapa waktu silam
Lain halnya dengan legenda Persib Bandung, yang juga mantan pemain Timnas senior, Ajat Sudrajat, yang mengkritisi program naturalisasi pemain timnas. Ajat menilai hal itu tak perlu dlakukan, kalau program pembinaan yang dilakukan PSSI berjalan baik, faktanya program pembinaan yang dilakukan tak berjalan.
Menurutnya, seandainya PSSI mampu menggelar kompetisi berjenjang dengan baik, Indonesia tidak akan kekurangan stok pemain timnas berkualitas .
Dengan program kompetisi berjenjang yang baik, digelar di seluruh wilayah di Indonesia, maka, PSSI akan beruntung banyak menghasilkan bibit-bibit unggul. Dan, PSSI nggak perlu lagi berpikir untuk membuat program naturalisasi.
Sedang mantan pemain timnas lainnya, Dede Sulaeman yang mengatakan bahwa selama ini, PSSI tidak melibatkan para mantan pemain timnas untuk terlibat di jajaran Direktur Timnas.
“Selama ini tidak ada mantan pemain Timnas yang dilibatkan, semua bicara masalah lisensi. Padahal, pengalaman mereka ketika memperkuat Tim Indonesia penting untuk diaplikasikan, bukan cuma lisensi,” ungkapnya.
Sementara , Joko Malis matan pemain timnas asal Jawa Timur ini, menilai organisasi sepakbola di Indonesia, dalam hal ini PSSI tidak bergigi, tidak memiliki terobosan yang terbaik dalam memajukan sepakbola Indonesia.
Joko Malis, menilai PSSI membutuhkan sosok pemberontak, orang-orang sangat pemberani dalam melawan mafia-mafia sepakbola yang selama ini menghambat kemajuan sepakbola Indonesia. Mengapa, PSSI butuh sosok pembrontak?, karena, banyak sekali preman-preman Mafioso yang menempel di lembaga organisasi PSSI, ada di lingkungan Asprov-asprov, ada banyak di klub-klub. Intinya, PSSI saat ini benar-benar sudah bobrok, dan harus ada yang berani merevolusi.
“Saya sebagai mantan pemain, kok sudah bosan mendengar mereka-mereka yang tidak kompeten ada di kepengurusan. Tapi, masih saja ada di PSSI, dan berita-berita sliweran, bahwa mereka adalah mofioso,” ungkapnya.
Menurut Joko Malis memang diperkukan kepedulian dari Pemerintah untuk merombak ini semua. Namun demikian pemerintah Indonesia tidak perlu turun langsung di organisasi PSSI. Tapi, sebagai konsultan saja. Apa yang wajib segera dibenahi, di mana PSSI tak mampu. Maka, pemerintah langsung turun tangan. Khususnya, masalah instrastruktur stadion-stadion, sarana dan prasarana setiap anggota PSSI, seharusnya segera dibangun.
Kritik pedas disampaikan mantan pemain timnas di era 1973-1977, Anjas Asmara, yang menilai PSSI saat ini seperti kerajaan. Harus dilakukan perombakan-besar-besar untuk membenahi PSSI yang lebih mempuni yang lebih modern dan professional.
Menurutnya, siapapun boleh menjadi ketua umum PSSI, namun memang harus dari kalangan yang benar-benar memahami sepakbola Indonesia dan peduli akan kemajuan sepakbola itu sendiri. Bukan sebagai tempat mencari popularitas ataupun tempat mencari uang untuk kepentingan pribadi.
Saat ini PSSI organisasinya tidak berjalan, dikelola oleh orang-orang yang tidak mengerti sepakbola. “Menggelar kompetisi nggak beres, mencetak pemain nasional yang becus, dan ini terus berlangsung hingga kini. Trus, mau diapakan PSSI?” kata Anjas Asmara, yang pernah menjebol gawang tim nasional Uruguay 1974, di SUGBK Senayan
“Ada yang paling parah dalam 30 tahun terakhir. PSSI tidak pernah melahirkan pemain nasional yang memiliki karakter dan intelegensia yang hebat. Dulu, Viel Coerver, pelatih asal Belanda, bisa mendapatkan dan memilih pemain yang punya karakter kuat, yang bisa masuk tim nasional. Saat ini, nggak ada yang bisa seperti Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Nobon, Suhatman, atau pun Junaedi Abdillah,” tandasnya.